Langsung ke konten utama

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco.
Saya pernah membahas sedikit soal pabrik ini di postingan sebelumnya. Gara-gara seorang teman menanyakan alamat Javaco ini, saya jadi keingetan kalau stok kopi saya juga habis. Jadilah saya beli lagi, seperempat Javaco Arabica seharga Rp. 22.500,- dan icip-icip se-ons Javaco Tip Top seharga Rp. 6000,-. Dari luar memang seperti rumah tua biasa, tapi kalau kita memperhatikan ke dalam pintu, akan terlihat beberapa grinder kopi yang juga usang. Saat berada di lowong panto (alias lawang pintu), aroma semerbak mewangi kopi-kopian menyapa lembut indra penciuman saya. Javaco, menurut pemiliknya yang ternyata sudah generasi ke-4 ini, sudah ada sejak tahun 1920-an. Pertamakali saya tahu tentang kopi Javaco adalah waktu nyari Vietnam Drip di Supermarket Setiabudhi, di raknya ada Javaco. Menarik karena dibungkus kertas cokelat. Di kemasannya tercantum alamat pabrik, dari situ saya tahu kalau kopi ini juga kopi lokal. Setelah mencoba...hmmm, wangi benerrrrr kopinya. Pas slurrrrrp ah.... enyak enyak enyak. Sempat saya mau beli langsung ke pabriknya jam 4 sore tapi ternyata tutup. kata tukang parkir setempat, Javaco ini cuma buka dari jam 9 sampai jam 2 siang. Jadi, bagi yang belum coba kopi Javaco ini, silahkan mencoba. Bubuk kopinya memang sengaja di giling kasar, dan jenis gilingan seperti ini paling enak kalau diseduh menggunakan dripper. Kekentalannya terasa, kalau digabung sama susu kental manis, jadi ma' nyoss! Kalau diseduh tubruk, akan menghasilkan crema kopi yang bagus, tapi kalau disruput terasa ampas kopi yang kasar.

Setelah foto-foto dan ngobrol bareng sang pemilik Javaco, saya meneruskan perjalanan kaki menuju Braga. Panas membuat perut saya keroncongan. Dari rumah saya sudah menyiapkan anggaran untuk coba menyicipi makanan di salah satu restoran legendaris di jalan Braga, namanya Braga Permai. Saya sudah tahu keberadaan restoran ini sejak lama, letaknya bersebrangan dengan toko buku Djawa dan Mall. Hanya setiap saya lewat depan restoran, segan rasanya untuk mampir. Selain restorannya sepi, restoran ini nampak begitu elegan, begitu mewah. Tahu dong, yang pertama melintas di pikiran adalah saya harus nyuci piring buat bisa bayar lunas di restoran ini. Tapi karena es krimnya begitu terkenal, saya browsing-browsing di internet untuk memperkaya referensi. Sepertinya tidak seseram yang saya pikirkan. Maka duduk tenanglah saya siang ini di meja luar restoran. Saya memesan es krim Exotica (ada toping buah-buahan, es krim vanilla, whipped cream, dan choco chips) harganya Rp. 16.500,- dan Beef Stroganoff yang medium seharga Rp. 26.000,-(yang regularnya Rp. 40 ribuan!!). Sebetulnya ada juga menu makanan Indonesia, selain barat, tapi berhubung restorannya bergaya barat dan terletak di Braga, jadi saya sesuaikan makanan dan suasananya. Beef Stroganoffnya cukup enak. Tidak sangat enak, tapi cukup enak. Sayurannya masih renyah, potongan daging sapi yang masih juicy, dan paprika yang manis. Cukup enak. Es krimnya jelas bukan dari susu hewani, tapi nabati alias santen kelapa. Terasa rasa santan yang gurih saat es krim lumer di lidah. Meski dibuat dari santan, tetapi es krimnya sangaaaaaaaaat lembut, beda dengan yang di restoran tetangganya Braga Permai, si SH yang juga legendaris itu. Di sana es krimnya agak kasar, saya ngga begitu suka dan pelayanan suka buruk. Kadang pelayannya suka judes. Tapi kalau di Braga Permai, pelayanan nomor wahid! halah... saya acungkan dua jempol untuk pelayan-pelayan yang sangat ramah dan betul-betul melayani. Saya baru duduk langsung di kasih segelas air putih gratis (lumayan, jadi ngga usah mesen minum. hahaha). Pokoknya pelayanan Braga Permai betul-betul bagus.

Makan, ngeskrim, duduk-duduk dan menulis di restoran legenda di tengah kawasan yang dulu berjuluk little eropa sambil memerhatikan orang lalu lalang, membuat imaji saya bernostalgia. Saya membayangkan situasi waktu itu, ketika restoran Braga Permai sangat berjaya di tahun 1930-an. Waktu itu namanya bukan Braga Permai, tapi Maison Bogerijen. Saya berkhayal sekitar saya noni-noni belanda dengan gaun-gaun mereka berwarna putih, rambut panjang pirang kriwil-kriwil macam rambut hakim. Hahaha... pemuda-pemudanya pake celana berkuda yang putih ketat itu dan sepatu bot, ber-jas kebangsaan biru. Mereka sedang makan sama seperti saya sambil berbincang-bincang kaku, bagai bangsawan yang bertahun-tahun belajar table manner. Semua jadi serba hitam-putih dalam benak saya, lalu menggema sebuah lagu berjudul "badai selatan" yang dinyanyikan oleh Agus Wisman untuk soundtrack film Gie.


Pictures for Javaco...
nampak muka Javaco


pictures for Braga Permai...
bagian luar Braga Permai
      tampak dalam Braga Permai
menu yang bisa dilihat sebelum masuk ke restoran

Komentar

  1. Penggemar kopi, petualang restoran, dan suka makan...hehehehehhehe....Hobby menyehatkan. Bagiku? HObby tak menyehatkan saku!...:p...

    BalasHapus
  2. hahahaha..betul betul betul. hobby tak menyehatkan saku!! yang ngga sehat, itu biasanya yang enak enak.

    BalasHapus
  3. semoga ndak gendut aja..xixixixiixx....amin....

    BalasHapus
  4. KAMU JAHAT CANTIK!!

    milih sendirian dibanding ngabisin 350 perak buat ngajak gw lewat sms...tegaaaaaa...

    BalasHapus
  5. @ Adit Mahameru>> mas adiiit... ngga gemuk, tapi berisi. hahahahaha

    BalasHapus
  6. @ Kiki>> Waduh, jangan ngambek doong. kan ceritanya survey. heuheu *alesan*. Nanti kita ngelenong di sana ya, sayang.... tenang. tenang...

    BalasHapus
  7. aku suka laper kalo bahas kuliner kaya gini ca. hehehe :p
    tapi enak banget ya di bandung banyak tempat kaya gini. dimakassar mah, nong hadong.

    BalasHapus
  8. berisi nasi, gorengan, es cendol, es teh..dll....Prikitiuew...

    BalasHapus
  9. @ Hans: enak nda enak, hans. heuheu. ga enak soalnya ngabisin duit. hadoooh!

    BalasHapus
  10. Wah asyik ya jalan-jalan kuliner ^^

    BalasHapus
  11. Kelihatannya enak banget tapi menurutku itu untuk yang uangnya banyak aja bisa makan seperti itu....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.