Hari selasa tanggal 30 Desember 2008 menjadi catatan baru dalam sejarah Jln. Braga. Kemarin telah diresmikan Festival Braga yang akan berlangsung hingga hari Rabu (31/12/08), sebuah festival yang diadakan setelah rampungnya renovasi jalanan Jln. Braga. Kini jalanan di Braga sudah tidak berupa aspal, melainkan diganti dengan susunan batu andesit. Rencananya, setiap akhir minggu Jln. Braga akan ditutup bagi kendaraan bermotor dan yang diperbolehkan hanya para pejalan kaki dan sepeda untuk menikmati indahnya kawasan Braga. Renovasi Jln. Braga ini bertujuan untuk mengangkat kembali “gengsi” kawasan ini dan kembali menjadikannya icon pariwisata di kota Bandung, karena pada zaman dahulu Braga lah pusat dari perbelanjaan, cafĂ©, dan tempat nongkrong anak – anak gaul (baca: noni – noni Belanda). Braga juga yang semakin menguatkan predikat Parijs van Java kota Bandung.
Kemarin saya mengunjungi festival Braga dan agak tersentak kaget karena tidak seramai yang saya bayangkan. Ramai di sini bukannya kekurangan pengunjung, justru pengisi acara nya yang kurang ramai dan menurut saya sih kurang mengena di hati. Pada festival tersebut jalan Braga di bagi dua, yaitu Braga pendek (Jln. Asia-Afrika – Bank Jabar) mewakili tempo dulu dan Braga panjang (Jln.Naripan-Jln.Braga-Jln.Tamblong) mewakili masa kini. Sebetulnya konsepnya menarik, padu padan tempo dulu dan masa kini, yang disayangkan adalah perbedaan yang terjadi justru sangat jomplang. Tema yang lebih terangkat justru tempo kini, pedahal menurut saya sih, dengan kawasan Braga dan arsitekturnya yang jabeul (Jaman Baheula) seharusnya tema yang lebih terangkat adalah tempo dulu. Festival tersebut justru didominasi oleh stan – stan distro dan makanan – makanan hotel, meski ada sih stan – stan lukisan, kerajinan, dan sedikit kuliner tradisional. Sangat disayangkan pihak panitia kurang bisa merangkul kalangan para seniman, budayawan, dan kuliner tradisional, pedahal mereka layak menjadi primadona di festival tersebut mengingat corak dan kharisma kawasan Braga. Dominasi tempo kini di festival Braga membuat festival Braga jadi terlihat biasa – biasa saja layaknya pameran pada umumnya, tidak ada ciri khas, ataupun keunikannya. Padahal apresiasi masyarakat cukup baik pada stan – stan seniman (lukisan dan kerajinan) serta kuliner tradisional, meski memang yang jadi pusat perhatian utama adalah stan – stan baju distro selain itu juga stan para bikers Brotherhood Mc yang memamerkan koleksi Moge-nya mereka. Keseluruhan, festival ini masih sangat sangat sangat biasa saja.
Saya merasakan pada festival itu Braga kurang hidup. Seperti masih ada jiwa yang mati. Bangunan – bangunan tua yang di media massa digembar – gemborkan dicat ulang berwarna putih, tidak terlihat. Saya sih masih melihat banyak bangunan yang kusam dan lusuh. Tanaman juga masih perlu diperbaharui dan dirawat, belum lagi lampu – lampu jalan masih banyak yang mati dan pecah. Pemerintah kota dan panitia terlihat tidak serius dalam mengadakan festival ini dan dalam perenovasian Braga. Memang sih, saya juga tahu kalau perubahan tidak bisa langsung terjadi, masih harus dilakukan secara bertahap. Well, tapi at least hal – hal dasar sekecil itu seharusnya bisa ditanggulangi atau paling tidak diakalan lah....biar kelihatannya Braga benar – benar indah (semakin indah malah). Jadi sangat disayangkan saja, pedahal langit senja Bandung pada saat itu sudah mendukung. Anginnya juga enak sepoi – sepoi, terus diiringi musik keroncong dari seniman musik yang berdendang di atas pentas. Ketertiban juga jadi masalah lainnya. Ketertiban parkir misalnya, masih belum tertata rapih sehingga mengakibatkan kemacetan jalan di Jln. Asia-Afrika dan Jln. Naripan, terus dasar di Indonesia, pada saat gimanapun yang namanya homeless pasti ada. Tidur di tengah jalan Braga, yang di pinggir – pinggir jalan, haduhhhhh.....
Kedepannya untuk para Pejabat Pemkot, pembangunan dalam upaya menjadikan Braga sebagai kawasan pedestrian masih harus terus dilakukan. Minimal fasilitas jalan harus terpenuhi, seperti penerangan. Jika Bapak – Bapak benar ingin mengangkat Braga sebagai icon Bandung lagi. Soalnya kalau udah (benar – benar) jadi, PAP-nya ( Pendapatan Asli Daerah ) dari situ lumayan gede. Kalau gitu kan bisa dipake pembangunan Bandung juga...masih banyak yang harus dirapihkan. Contoh mesjid Agung dan tamannya tuh, mesjid kan tempat ibadah tapi kelihatannya kok jadi seperti kantin kumuh ya? Masa banyak PKL dan homeless yang mangkal di batas suci mesjid? Pan teu eucreuk....










pedestrian braga
BalasHapus