Sapta sedang menatap Zara. Zara sedang memelototi agendanya. Amara sedang memandangi mereka berdua.
Dan aku adalah observator dari semua itu. Menyenangkan juga berobservasi. Kau seperti bisa mendengar isi pikiran orang melalui ekspresi wajahnya jika kau cukup lama menyimak dan memandangi.
Mata Amara yang belotot nampak seolah – olah hendak menghabisi Zara. Dan Amara, tentu saja. Dia punya masalah. Bukan dari penampilannya. Amara punya dua mata bulat besar berwarna cokelat terang seperti barbie, kulit putih mulus, badan yang tinggi dengan bahu seperti atlet renang, kaki semampai, dan rambut ikal. Tapi di samping semua kesempurnaan fisiknya, ia punya masalah. Masalahnya adalah ia menyukai Sapta dan Sapta malah menyukai Zara.
Zara lucu dan pintar. Cantik sekali. Mata yang sedikit sipit seperti orang jepang, rambut pendek lurus membingkai wajahnya yang lonjong, kulitnya kecokelatan seperti orang latin, tinggi badannya standar orang asia. Tidak tinggi tapi tidak juga pendek. Pas. Kalau tersenyum ada lesung pipi di kedua pipinya. Tatapan matanya begitu lembut dan hangat. Tak bosan – bosannya aku mengagumi keindahannya luar dalam.
Sapta...kepalanya botak, matanya sayu, senyumnya lebar, badannya tegap seperti pasukan pengibar bendera, suaranya merdu, dan dia sahabatku sejak SD. Terkadang dia memuakkan, ia terus bicara soal betapa menakjubkannya Zara. Aku tahu itu, aku tahu! Namun sebagai sahabat, aku harus setia menjadi pendengar yang baik dan terlarang bagiku bahkan hanya punya pikiran menyukai pujaan hati sahabatnya. Tetapi bukan salah Sapta sehingga untuk menyukai gadis yang kusuka pun aku tak bisa.
Zara masih memelototi agendanya. Dia tahu bahwa dia sedang menjadi pusat perhatian. Sapta dan Amara memandanginya sejak tadi. Namun ia bersikap tenang seolah tak tahu, meski sesekali ia coba melirik ke arah Sapta. Hanya aku yang tahu itu. Setiap gerak – geriknya mampu menyita perhatianku.
“Gue mau ngajak Tasya jalan.” bisik Sapta. Dia punya ide bengkok berkencan dengan Tasya untuk membuat Zara cemburu sehingga gadis itu akan lebih menyukainya. Dasar tolol. Sapta dan Zara saling jatuh cinta, semua orang sudah tahu hal itu kecuali mereka berdua. Dua orang yang tidak pernah bisa mengakui perasaan mereka. Mungkin mereka akan membawa cinta itu sampai ke liang lahat, terpendam selamanya tanpa pernah terbalaskan.
“Cuma lo yang tau, Nadia. Jangan bilang siapa – siapa.” begitulah kata Sapta.
“Oh, pasti,” Aku mengacungkan jempol. “my lips are sealed.”
Ya. Dan Sapta pun tak perlu tahu aku menyukai Zara. Pikiranku sendiri takkan memberi tahu siapa – siapa.
Aisya
Sudut Sepi, 26 Mei 2008
Dan aku adalah observator dari semua itu. Menyenangkan juga berobservasi. Kau seperti bisa mendengar isi pikiran orang melalui ekspresi wajahnya jika kau cukup lama menyimak dan memandangi.
Mata Amara yang belotot nampak seolah – olah hendak menghabisi Zara. Dan Amara, tentu saja. Dia punya masalah. Bukan dari penampilannya. Amara punya dua mata bulat besar berwarna cokelat terang seperti barbie, kulit putih mulus, badan yang tinggi dengan bahu seperti atlet renang, kaki semampai, dan rambut ikal. Tapi di samping semua kesempurnaan fisiknya, ia punya masalah. Masalahnya adalah ia menyukai Sapta dan Sapta malah menyukai Zara.
Zara lucu dan pintar. Cantik sekali. Mata yang sedikit sipit seperti orang jepang, rambut pendek lurus membingkai wajahnya yang lonjong, kulitnya kecokelatan seperti orang latin, tinggi badannya standar orang asia. Tidak tinggi tapi tidak juga pendek. Pas. Kalau tersenyum ada lesung pipi di kedua pipinya. Tatapan matanya begitu lembut dan hangat. Tak bosan – bosannya aku mengagumi keindahannya luar dalam.
Sapta...kepalanya botak, matanya sayu, senyumnya lebar, badannya tegap seperti pasukan pengibar bendera, suaranya merdu, dan dia sahabatku sejak SD. Terkadang dia memuakkan, ia terus bicara soal betapa menakjubkannya Zara. Aku tahu itu, aku tahu! Namun sebagai sahabat, aku harus setia menjadi pendengar yang baik dan terlarang bagiku bahkan hanya punya pikiran menyukai pujaan hati sahabatnya. Tetapi bukan salah Sapta sehingga untuk menyukai gadis yang kusuka pun aku tak bisa.
Zara masih memelototi agendanya. Dia tahu bahwa dia sedang menjadi pusat perhatian. Sapta dan Amara memandanginya sejak tadi. Namun ia bersikap tenang seolah tak tahu, meski sesekali ia coba melirik ke arah Sapta. Hanya aku yang tahu itu. Setiap gerak – geriknya mampu menyita perhatianku.
“Gue mau ngajak Tasya jalan.” bisik Sapta. Dia punya ide bengkok berkencan dengan Tasya untuk membuat Zara cemburu sehingga gadis itu akan lebih menyukainya. Dasar tolol. Sapta dan Zara saling jatuh cinta, semua orang sudah tahu hal itu kecuali mereka berdua. Dua orang yang tidak pernah bisa mengakui perasaan mereka. Mungkin mereka akan membawa cinta itu sampai ke liang lahat, terpendam selamanya tanpa pernah terbalaskan.
“Cuma lo yang tau, Nadia. Jangan bilang siapa – siapa.” begitulah kata Sapta.
“Oh, pasti,” Aku mengacungkan jempol. “my lips are sealed.”
Ya. Dan Sapta pun tak perlu tahu aku menyukai Zara. Pikiranku sendiri takkan memberi tahu siapa – siapa.
Aisya
Sudut Sepi, 26 Mei 2008
Komentar
Posting Komentar