Langit sore ini begitu indah. Senja. Matahari yang memerah di ufuk barat perlahan mulai tenggelam dan memendarkan warna jingga di langit. Warna jingga yang begitu khas diselingi dengan warna biru langit yang mulai menipis dan awan – awan putih yang mulai samar. Sesekali aku melihat burung – burung terbang berkelompok. Aku mendongak dan kurasakan angin sore berhembus lembut menyapa ramah wajahku, membaui segarnya wangi tanah yang terbasahi air hujan. Aku memejamkan mataku, membayangkan aku adalah salah satu dari mereka. Dari burung – burung yang terbang bebas, mengepakkan sayapnya, merasakan angin yang berhembus lembut membawa mereka terbang lebih tinggi. Sesaat aku merasakan diriku adalah burung, bersama mereka aku berkicau, terbang, dan merasa damai.
Aku menghela nafas pelan dan perlahan membuka mataku. Masih mendapati diri terduduk di teras sebuan mini market 24 jam. Cokelat panas mengepul dari gelas styrofoam yang terletak di sebelahku. Aku cek selulerku dan kosong. Hhh, senja, mungkin ini yang dinamakan ruang rindu itu. Mataku memandang jalanan yang penuh dengan mobil antri, suara klakson, kemacetan jalan. Namun senja ini terlalu indah sehingga pemandangan buruk seperti dihadapanku ini tak terlihat begitu menyeramkan. Senja dengan warna jingga merona, hati yang sendu merindu, membuat keramaian menjadi terasa begitu sepi. Baru kali ini aku merasa keramaian yang sepi.
Matahari semakin menurun, meninggalkan jejak jingganya pada langit luas, sebentar lagi kegelapan akan menelan semua itu. Huffff.....aku menghela nafas berat. Sedih karena senja akan pergi untuk hadir di belahan bumi yang lain. Sedih karena aku ternyata harus berbagi senja. Dan sedih karena senja baru akan datang 24 jam lagi. Pagi dan siang terasa begitu menyiksa, malamku adalah malam yang pendek. Aku hanya punya senja untuk dinikmati. Hanya senja untuk memberi kedamaian di hati.
Senja...senja...cepatlah kembali, berikan aku kedamaian pada hati yang sepi. Aku ingin lagi melihat warnamu yang jingga, wahai senja. Aku tak ingin pagi ataupun siang yang begitu terang, aku tidak suka malam yang kelam. Aku suka jingga, sebuah senja yang temaram.
Angin senja bersenandung mendayu – dayu bagai bernyanyi lagu sayonara. Warna jingga yang pekat semakin gelap. Lalu gelap, gelap, gelap, dan tak ada. Andai saja dapat ku kantongi senja, maka akan ku bawa pulang. Aku pasang di langit – langit kamar, hingga takkan ada malam, takkan ada pagi ataupun siang. Hanya akan ada jingga senja dan aku. Hanya akan ada damai. Oh ya, dan jingga nya senja takkan aku sudi berbagi.
Angin senja bersenandung mendayu – dayu bagai bernyanyi lagu sayonara. Warna jingga yang pekat semakin gelap. Lalu gelap, gelap, gelap, dan tak ada. Andai saja dapat ku kantongi senja, maka akan ku bawa pulang. Aku pasang di langit – langit kamar, hingga takkan ada malam, takkan ada pagi ataupun siang. Hanya akan ada jingga senja dan aku. Hanya akan ada damai. Oh ya, dan jingga nya senja takkan aku sudi berbagi.
Aisya,
Kamar kosong, 7 November 2007
Kamar kosong, 7 November 2007
Komentar
Posting Komentar