Langsung ke konten utama

APAKAH TUHAN TELAH MATI?


Kepergian-Nya diiringi gelak tawa dan kemaksiatan manusia. Kekacauan dunia.
Musnahnya satu masa. Orang – orang lupa akan keberadaan-Nya. Kesaksian-Nya yang
mutlak, tak dapat di ganggu gugat, Ia melihat, Ia mengingat, dan menyuruh
malaikat mencatat. Disimpan-Nya catatan panjang noda hitam kehidupan personal
setiap manusia, hingga pada saatnya tiba dimana Ia menunggu melancarkan
pembalasan pada kita, para pendosa.
Aku marah. Aku sudah tak sanggup menguasai diri. Aku sudah tak bisa berfikir menggunakan otak kanan maupun kiri. Aku berlari ke sana lalu ke mari, tapi selalu kembali pada tempat sama dengan yang tadi. Aku terperangkap dalam kelemahan diri karena emosi. Terasa sudah beratnya, lelahnya langkah kaki. Semakin hampanya ruang hati dan sudah tak sanggup diluapkan dengan kata – kata lagi. Aku berteriak dalam hati, tak ada yang mendengar jerit diri, pertanyaan – pertanyaan tak terjawab seiring matahari dan bulan bergantian menyinari. Aku merasa resah, perlahan redup lalu mati.
Di mana Kau kini?
Mungkin Kau, Tuhan, telah mati. Kau semakin jauh seiring semakin tertutupnya mata hatiku oleh kilau dunia fana. Kilau yang menggelapkan mata hati. Saat itu juga aku terjebak dalam kegelapan hingga merasa sendiri, begitu sepi, merasa ada kepuasan yang tak dapat terpenuhi. Aku membunuh-Nya, membunuh dengan keji, mengusir-Nya pergi, menggantikan keberadaan-Nya di hati oleh hal – hal duniawi. Sekarang setelah Ia pergi, jiwaku turut layu dan mati, merasakan satu ruang kosong yang begitu besar dalam diri dan sungguh tak mampu diisi oleh kepuasan duniawi lagi. Aku pun hanya sanggup menyesali diri. Ketika tawa, harta, dan kesenangan dunia sudah tak mampu mengisi jiwa, tersisa hanya derita. Setiap menemui jalan buntu dan tak sanggup kembali, aku tak tahu pada siapa aku harus berlari. Sudah terlalu lama aku terpejam, lupa bahwa Ia selalu berada di hati -jauh lebih dekat dari tanah ke kaki- Kau tidak benar – benar mati, Tuhanku, Kau selalu membuka diri menantiku untuk kembali. Kau pergi agar aku dapat menilai dan menghargai diri sendiri dalam kurungan waktu yang takkan pernah menanti.
Bodohnya aku.
Sudah seberapa hebatnya kah aku, sehingga berani melupakan-Mu?
Hebatkah aku, sehingga berani mengundang amarah-Mu?
Beranikah aku menghadapi murka-Mu?
Ya Rabbi...Aku sungguh tak sanggup menengadahkan kepala, mata menatap keagungan-Mu. Aku malu, malu hingga hanya mampu tertunduk kuyu. Kesempatan telah Kau beri namun terlewati begitu saja tanpa arti dan kini aku merasa sebagai manusia yang merugi. Tanpa arti, pecundang sejati, pengecut abadi yang hanya sanggup merusak diri dengan segala hal dan tindakan yang sudah pasti kau murkai, ya Rabbi... Aku telah kehilangan makna diri, pegangan dan pijakan untuk kokoh berdiri, menyebabkan aku jatuh berkali – kali. Mimpi – mimpi menguap tanpa terealisasi. Aku seperti seorang fatalis menyerah pada nasib yang telah tertulis.
Kala aku mencoba kembali pada-Mu, jalan itu terlalu licin dan aku sering tergelincir lagi, lagi, dan lagi. Terluka berkali – kali, tertusuk duri, diuji tiada henti. Harus menguatkan diri. Tuhanku, aku terlalu sering mengkhianati. Terlalu lupa bahwa Kau yang paling berarti, yang dapat menghilangkan sepi dan nyeri, yang dapat mengembalikan jiwa yang mati hidup kembali. Tempat paling tepat mencurahkan isi hati, gudang dari jawaban sejuta pertanyaan yang tak henti menghantui. Kau sudah memperingatkan, bahwa dunia dapat sangat memabukkan, bahwa kenikmatan dan derita dunia itu adalah fatamorgana, namun aku adalah pendosa yang selalu mengingkari bahwa Engkaulah satu – satunya yang nyata. Aku rapuh dalam langkah, makhluk yang tak setia. Dan kini, setelah aku hilang tanpa arah, aku kalang kabut mencari-Mu.
Ruang kosong itu milik-Mu. Ruang kosong yang menganga lebar itu, yang menebar gelisah di hati, tempat-Mu. Ruang kosong itu adalah rinduku pada-Mu. Meski tak layak, kuharap degup cinta-Mu. Meski begitu hina, kubersimpuh pada-Mu. Kembali mencari-Mu.
Bukan Kau yang mati.
Hati dan Jiwa ini yang mati. Dan akan terus mati, tanpa-Mu.
Sudahkah kita menemukan-Nya?
-Tanya Sang Pencari -
Tuhanku, kuingin bercerita/Kutunduk, bersujud, kumulai berdoa/Lelahnya jiwaku, beratnya langkahku/Tuhanku, kurindu tawaku yang dulu/Kejujuran, kebenaran yang dulu kutahu/Kemana semua, sejauh itukah ku sesal sudah/Peluklah semua tanyaku, jawablah dengan cara-Mu/Tuhanku, kuingin berkelana/Kembali mencari jalan ke rumah/Bukan di sini, tempatku/Bukan mereka yang kucinta/Hari ini kumengenali arti keberanian yang menerbangkanku di atas semua derita dan apa kata dunia/Usai semua sandiwara/Cukup kuberpura – pura/Sejujurnya hanya Dia yang kucinta/Ke hati-Nya aku ingin/Pulang.... (Dewi Lestari – Pulang)
Aisya
Sudut Sujud,
27 September 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.