Langsung ke konten utama

-- --

Tubuh ini sudah terasa lelahnya, namun aku belum mau memejamkan mata. Bukan mata yang tak ingin terpejam, tapi aku tak mau terpejam. Aku membuatnya, memaksanya untuk terus terjaga meski lelah telah melanda. Kenapa sih aku tidak mau terpejam? Aku bertanya kepada aku. Jika aku sudah merasa lelah kenapa tidak langsung merebahkan diri di atas kasur yang empuk di kerubuni selimut yang hangat, menutup mata, dengan mudahnya langsung tidur lelap, lalu bangun saat matahari sudah mulai menggeliat. Kenapa aku tidak mau melakukan itu? Dan malah terjaga di pagi buta yang hening, larut dalam kegelisahan yang tak dapat dijelaskan. Aku sadar betul ketika aku terjaga sendirian waktu terasa berputar pelan. Satu menit benar – benar terasa enam puluh detik. Satu jam betul – betul terasa enam puluh menit. Wah wah wah...



Sesuatu yang di tunggu memang akan lebih lama terasa. Seperti aku menunggu waktu pagi saat orang – orang mulai terbangun satu per satu. Aku menikmati saat – saat hening sendiri seperti ini namun ada kalanya aku berada di satu titik aku ingin mengajak orang lain untuk berbagi. Bukan pada sahabat, bukan kerabat, bukan pula orang terdekat. Lebih kepada orang – orang yang tak di kenal, orang yang bertemu sekali dan cukup sekian, orang – orang di perjalanan, mereka yang ngopi di warung kopi, atau penggembala yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang mengawasi hewan gembalaannya.

Menjadi seorang pengembara. Ya, seorang pengembara. Menjejakkan kaki di tanah yang berbeda – beda, menjumpai manusia – manusia baru sesering kakinya bertandang di bumi baru, lebih memaknai hidup ketika ia melihat, bergaul, dan meresapi kehidupan itu sendiri. Mungkin beberapa kepala berpendapat, tidak perlu menjadi seorang pengembara untuk bisa memaknai hidup. Memang tidak, untuk sebagian orang – orang itu. Tetapi untuk sebagian orang lainnya lagi yang lebih memilih cara hidup yang berbeda, mereka akan cenderung melakukan hal – hal yang menentang arus kehidupan normal untuk bisa merasakan sensasi kehidupan dan memperkaya alam pikiran mereka. Aku rasa hal itu perlu dipahami para orang tua bahwa anak – anak mereka punya cara pandang yang tak biasa.


Aisya
Sudut Sepi, 3 Juli 2009
03:24 dini hari WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.