Langsung ke konten utama

Mereka mulai Bertanya. Berujar.

Vini Rollianty Holmboe via e-mail.

Lia Merdekawaty Hidayat via comment FaceBook.
Bahkan ibu saya selalu berujar, "Jaga diri," kalau saya mau pergi atau tidak akan pulang ke rumah. Semua tatapan mata yang resah itu. Menatap penuh tanda tanya. Entah seberapa sering air muka saya berubah di depan mereka. Dari tersenyum, cemberut, tersenyum, sampai cemberut lagi.
Vitria Rachma Octorina pada tanggal 26 September 2009
V: Ikut yu, ke rumah bi Ida. Daripada sendirian di rumah.
I : Ngga ah, lagi pengen sendiri. males keluar.
V: Kenapa sih, ocil murung?
I : Ngga.
Saya baik - baik saja. Betulkah?
Saya ingin mengepakan sayap dan kembali terbang. Sejujurnya.
Bisakah? Saya bahkan tidak mempunyai sayap. Hahaha. Bodoh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.