Saya baru membaca sebuah buku berjudul “Catatan Pinggir 4” karya Goenawan Mohammad yang terbit sekitar tahun 1995, itu pun belum beres saya baca. Saya baru beres membaca bab satu bertemakan Ideologi. Wow. Tulisannya sangat menyentil, membuat saya berpikir tentang keadaan tanah air saya juga dunia. Buat saya, tulisannya menggugah sebuah kesadaran yang tertidur lama dalam diri manusia ( saya ). Goenawan Mohammad terkenal sebagai penyair dan esais yang kuat, juga sebagai pemimpin redaksi Tempo sekitar tahun 1994an. Di mana pada masanya, Tempo di cabut hak hidupnya oleh sebuah rezim.
Ada beberapa tulisan favorit saya di Bab Ideologi ini, yang berjudul “Peta”, “Cemas”, dan “Nostalgia”. Menurut saya isi tulisan tersebut tercermin pada kondisi tanah air kita saat ini yang sepertinya tidak berubah banyak sejak zaman orde baru. Saya rasa kita perlu melihat ke belakang, melihat ke sejarah, bagaimana banyak darah tumpah juga perjuangan demi sebuah kemerdekaan. Tetapi yang kita lakukan sekarang apa? Merusak, memperkeruh, (kembali) terjajah. Kita bahkan sulit untuk merdeka dari diri sendiri ( kemalasan, nafsu dan emosi ). Banyak dari kita yang tidak bertindak pada porsinya masing – masing, atau yang seharusnya di lakukan dan tidak di lakukan.
Seperti, para Mahasiswa yang gemar berkoar – koar itu. Berteriak tentang pemberantasan korupsi, pedahal dalam diri sendiri juga kerap melakukan korupsi seperti korupsi waktu. Munafik kalau kita tidak mengaku pernah menyianyiakan waktu atau datang terlambat waktu kuliah, begadang semalaman hanya merokok dan minum kopi tanpa melakukan hal berguna. Atau melebih – lebihkan uang buku atau kosan, sekecil apapun jumlahnya, tetap itu sebuah perbuatan korup.
Seperti, para Mahasiswa yang gemar berkoar – koar itu. Berteriak tentang pemberantasan korupsi, pedahal dalam diri sendiri juga kerap melakukan korupsi seperti korupsi waktu. Munafik kalau kita tidak mengaku pernah menyianyiakan waktu atau datang terlambat waktu kuliah, begadang semalaman hanya merokok dan minum kopi tanpa melakukan hal berguna. Atau melebih – lebihkan uang buku atau kosan, sekecil apapun jumlahnya, tetap itu sebuah perbuatan korup.
Saya juga mahasiswa, saya rasa tidak ada yang salah kalau kita mau menyuarakan pendapat, tapi terkadang cara mereka yang salah. Mahasiswa dulu ( dan seharusnya ) menjadi kaum panutan, kaum terpelajar yang berjalan menurut akal sehat mereka. Tetapi gambaran megah itu makin ke sini makin memudar dan menjurus menjadi kaum yang “kampungan”. Mahasiswa menjadi sekumpulan orang tukang demo, tukang tawuran, dan anarkis. Mereka berorasi dan merusak fasilitas pemerintahan dan mengganggu ketertiban umum. Notabene mereka seharusnya dapat bertindak lebih cerdas dan lebih banyak berkarya untuk benar – benar mewujudkan suatu perubahan. Tak sadarkah teman – teman mahasiswa itu bahwa tindakan mereka sama sekali tidak menguntungkan siapapun? Tidak membantu siapapun? Ayolah teman – teman mahasiswa, mari kita beremosi lebih hati – hati, bertindak lebih cerdas. Mari kembalikan citra mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang ditakuti karena kecerdasan mereka, bukan karena emosi mereka yang berapi – api. Kita bisa merubah negeri ini, bahkan dunia.
Hidup adalah anugrah, mencari apa misi kita. Naik setiap peristiwa, melawan ke-aku-an kita......belajar lagi, belajar jadi manusia (Oppie Andaresta – Hitam putih).
Rakyat Indonesia, mari kita hargai kehidupan, menghargai diri sendiri juga kehidupan sekitar kita. Berhentilah saling bertikai, saling menyalahkan, hentikan semua kebohongan, lebih baik bahu membahu menjadi pribadi baru. Selamat tahun baru!
Komentar
Posting Komentar