Langsung ke konten utama

Apa yang Ada dalam Benaknya?

Saya menunggu bis. Duduk berdua di bawah pohon rindang, saya dan comro, air menetes rintik turun dari langit ke bumi Jatinangor. Kami menatapi orang gila yang tengah duduk di pinggir jalan dan asyik sendiri merogoh - rogoh kantung keresek yang dibawanya sambil sesekali ia menggerutu entah pada siapa. Orang gila itu terdiam menatap jalanan dengan tatapan yang terlihat kosong di mata kami. Lalu merogoh kantung kereseknya lagi sambil bermonolog. Baju compang - camping, dekil, topi yang sudah mulai samar warnanya itu menutupi rambut gimbalnya, ia mengenakan sendal yang bentuk dan warna tak sama. Tentu pemandangan itu tak lazim dari kacamata kita yang beranggapan bahwa diri kita normal dan memiliki akal sehat. Tapi orang gila itu nampak nyaman dengan apa yang ia kenakan, nampak nyaman dan asyik dengan teman ngobrolnya yang kasat mata itu.


"Menurutmu orang gila itu benar - benar hilang akal?" tanya Comro. "Lihat, tatapannya kosong, pikirannya menerawang. Apa yang sedang dia pikirkan? apa yang sedang dia lihat?" lanjutnya lagi.
"Tidak." jawabku. "Sepertinya dia punya cara pandang sendiri. Kita melihat dia dan bilang bahwa dia orang gila, tapi mungkin saat dia melihat kita, menurut dia kitalah yang gila." tambahku sekedarnya.
"Bukan begitu. Maksudku, mungkin dia beranggapan bahwa bajunya bagus dan baju kitalah yang jelek. Menurut kita, inilah yang disebut kacamata tapi menurut dia mungkin ini namanya bukan kacamata. Bulat menurut kita mungkin menurut dia bukan bulat, mungkin lonjong atau kotak." begitu pendapatnya. Aku mendengarkan seksama perkataan Comro yang meluncur dari bibir manyun berkarangnya itu (heuheu :p). "Mungkin saat dia bicara, sebetulnya dia tidak bicara sendiri. Mungkin dia bicara pada lawan bicara khayalannya atau dia bicara pada sesuatu. Entah itu kantung plastik, batu, dan benda lainnya. Aku jadi ingin tahu apa yang sebenarnya ada dalam benaknya."
"Mungkin memori - memori dia di masa lalu yang membuatnya jadi gila." kataku.
"Orang gila punya ikatan yang kuat. Contoh, kalau dia sekarang ada di Jatinangor terus dia jalan nyampe rumah kamu, sama kamu dikasih makan. Seperti kucing, besoknya dia bakal balik lagi ke tempat kamu untuk minta makan. Sejauh apapun dia pergi, kalau mau makan dia balik ke tempat kamu."
Begitulah. Sore berangin itu dipenuhi analisis tentang orang gila. Mencoba mengulik seperti apa hidup itu jika dilihat dari kacamata orang gila.
orang gila di pinggir jalan, terduduk terdiam melihat pejalan, "terimakasih
Tuhan, telah membuat saya gila", mungkin ucapnya dalam hati..
(via status FaceBook Moeljadie Moertadho)

Betul bukan kita-kah yang gila??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.

Si Kembar Lahir

Ada empat orang bapak menunggu istrinya yang sedang melahirkan. Keluarlah suster dan memberi selamat kepada Bapak yang pertama.  Suster    : Selamat, anak Bapak kembar! Bapak 1 : Kebetulan saya kerja di PT. Kacang Dua Kelinci Kemudian Suster menghampiri Bapak yang kedua Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tiga! Bapak 2 : Oh, ngga heran, saya kan kerja di PT. Tiga Roda. Berikutnya Suster menyampaikan kebahagiaan kepada Bapak yang ketiga Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tujuh! Bapak 3 : Ah, pasti dong, saya kan kerja di PT. Bintang Tujuh Tiba-tiba Bapak yang keempat jatuh pingsan. Ternyata dia tidak dapat membayangkan jumlah anaknya, karena dia anggota Densus 88!! Sumber: Tidak diketahui dengan jelas.