Langsung ke konten utama

Senandika



Kotak itu sudah tidak kotak lagi. Mungkin sudah lonjong, oval. Rasanya menghimpit. Saya semakin besar dan dunia seperti mengecil. Saya terjebak dalam dimensi yang memiliki konsep kebahagiaan tanpa akhir. Tapi pintu semakin terbuka dan cahaya selain putih berhasil merangsek masuk. Saya terombang ambing ke kanan dan ke kiri.



Satu waktu saya melihat ibu dan seperti katarak yang luntur dari mata, saya kembali melihat jelas. Saya sadar. Saya punya rencana. Apa yang harus saya selesaikan. Tapi terus apa? Apa? Untuk diri saya sendiri apa yang harus saya lakukan. Mata saya gelap lagi.

Saya tidak bahagia.
Saya kebingungan.
Tak ada yang tahu. Sebagian isi dalam diri saya terhisap lorong tak menyenangkan.
Dan saya masih harus tersenyum berbahagia demi orang lain saat saya sudah tak punya tenaga lagi. Ironi. Pagi, siang, di tengah - tengah mereka saya nampak utuh, tapi mereka tidak tahu bagaimana bentuk saya ketika terperangkap sendiri dalam pekat malam. Menutup rapat telinga dari bisikan entah di mana.


Lihatkah? Aku pucat pasi, sembilu hisapi jemari
Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara... aah...
Yang sedih aku letih Dengarkah?
Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah
Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering... aah...
Melemah dan melemah
Hujan, hujan jangan marah... aah... aah...
(Efek Rumah Kaca - Hujan Jangan Marah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.