Kotak itu sudah tidak kotak lagi. Mungkin sudah lonjong, oval. Rasanya menghimpit. Saya semakin besar dan dunia seperti mengecil. Saya terjebak dalam dimensi yang memiliki konsep kebahagiaan tanpa akhir. Tapi pintu semakin terbuka dan cahaya selain putih berhasil merangsek masuk. Saya terombang ambing ke kanan dan ke kiri.
Satu waktu saya melihat ibu dan seperti katarak yang luntur dari mata, saya kembali melihat jelas. Saya sadar. Saya punya rencana. Apa yang harus saya selesaikan. Tapi terus apa? Apa? Untuk diri saya sendiri apa yang harus saya lakukan. Mata saya gelap lagi.
Saya tidak bahagia.
Saya kebingungan.
Tak ada yang tahu. Sebagian isi dalam diri saya terhisap lorong tak menyenangkan.
Dan saya masih harus tersenyum berbahagia demi orang lain saat saya sudah tak punya tenaga lagi. Ironi. Pagi, siang, di tengah - tengah mereka saya nampak utuh, tapi mereka tidak tahu bagaimana bentuk saya ketika terperangkap sendiri dalam pekat malam. Menutup rapat telinga dari bisikan entah di mana.
Lihatkah? Aku pucat pasi, sembilu hisapi jemari
Setiap ku peluk dan menangisi hijau pucatnya cemara... aah...
Yang sedih aku letih Dengarkah?
Jantungku menyerah, terbelah di tanah yang merah
Gelisah dan hanya suka bertanya pada musim kering... aah...
Melemah dan melemah
Hujan, hujan jangan marah... aah... aah...
(Efek Rumah Kaca - Hujan Jangan Marah)
Komentar
Posting Komentar