Langsung ke konten utama

Lanjutan Rindu dan Big City,Big No

Lelah. Perasaan itu muncul kembali. Saya ingin mengambil langkah seribu, menghilang dibalik kepulan asap kelabu.
Kota ini sudah terlalu sibuk, orang - orang mulai saling sikut.


Diiiiiiiiiiiiiiiin! "Awas saya mau lewaaaaaat!"
"Saya juga buru - buru!"
"Kamu pikir kamu aja yang punya urusan penting?!"
"Kamu kira kamu saja?!"

"Yang dingiin, yang dingiin. Minum dulu, Gan, biar dingin kepala, dingin hati."
"Buru - buru bikin lapar, gorengan dulu, Gan. Buat ganjel perut sebelum aktivitas."

Kota besar takluk oleh kaki - kaki pembangunan yang congkak. Peradaban memudar, menjadi bringas, yang tradisional terusir tak terhormat oleh zaman yang tak karuan, yang susah semakin susah, yang kaya semakin kaya. Dan yang berkuasa, diam. Tangan dan mulutnya dibungkam miliaran nilai angka, dialah dewa.

Saya lebih baik mengayuh sepeda di jalan butut berbatu, tak ada listrik tak apa. Kanan kiri rumah dan kebun. Tenang, tanpa riuh saling berburu waktu, menyingsingkan lengan baju, mengangkat tinggi siku, dengan saudara sebangsa sendiri berjibaku. TIDAK. Kita tidak akan pernah mampu mengejar waktu. Tanah dan langit menjadi sumber pencaharian utama. Hari ini makan, besok tidak, syukuri saja. Terpenting Tuhan hari ini ada, esok masih tetap ada. Sederhana.  

Komentar

  1. kamu tambah RRRRRRRRRR dehh postingannya..aku sukaa.. :p

    BalasHapus
  2. La vida es demasiado corta para ser otra.
    like this, what the meanings..

    senja cinta senja,

    nice, salam kenal
    langitsenja menunggu

    BalasHapus
  3. Kiki: RRRRRRR...deh.

    Hdsence: La vida es demasiado corta para ser otra means, life's too short for anybodyelse...thanks for commented on my post anyway. salam dari senjana jingga pada langitsenja.

    BalasHapus
  4. yap.. kota terlalu bising untuk ditinggali..
    tetapii say masih butuh tempat bising-banyak-polusi-itu
    hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.