Langsung ke konten utama

~ Mencari Temaram Itu ~

Merah bersemu jingga terpancar dari matahari setengah bulat. Senja berkarat bergantung di langit ufuk barat. Tak lama gelap menelannya bulat – bulat dalam sesaat.

Aku berjalan lesu sehabis taram – taraman itu. Esoknya tak kujumpai warna langit lain selain biru dan hitam. Habislah sudah. Masa keemasan itu menguap tak bersisa. Setelah dia mendapatkan hatiku sepenuhnya, dia hanya menjadi biru biasa dan gelap gulita. Temaram yang selalu menghangatkan jiwa yang sepi kini tak ada. Aku redup dalam kelabu birunya, mencari taram – taraman itu yang biasa membuatku terlihat merah menyala. Aku merasa didinginkan udara. Mungkinkah hangat itu hilang selamanya?


Dia tidak tahu bagaimana emosi berkecamuk dalam dada. Dia tak berusaha mengerti kesepian yang aku rasa. Kebosanan tanpa senja. Kematian mengincarku dari kejauhan membawa derita jiwa. Mungkin lebih baik rasanya jika tertikam candrasa di dada, dibandingkan dengan terselimuti kabut lara. Meskipun sekawanan angin dan awan berusaha menghibur jiwa, hatiku tertambat pada satu senja. Hanya kehangatan dari balik temaramnya yang dapat kembali menghadirkan senyuman di hati, terpancar melalui mata di muka.


Esoknya dan esoknya dan esoknya tak henti aku menunggu dia, sang senja, sebuah jingga yang temaram. Aku mencoba mencari secercah warna selain hitam. Bercak yang mempesona. Tak putusnya aku mengharap bahwa dia pun rindu padaku, pada akhirnya kembali untuk mengganti siang yang terlalu terang untukku sebelum malam kelam yang terlampau pekat kembali membelenggu.


Aku setia menunggu pendar cahaya temaram itu muncul dari balik langit terang yang berenang menuju keabu-abuan. Jiwaku terbang meregang menebar tanya akan keberadaanmu, melihat ke setiap sudut langit, mungkin aku akan melihatmu di sebelah barat atau timur laut, mungkin tenggara atau barat daya, tapi tak satu sudut pun berpendar warna jingga temaram yang indah itu. Aku menunggumu, senja, hingga penantianku mendekati lelah. Lekas kembali, isi kembali ruang kosong rindu yang sendu itu sebelum aku menjadi abu.


Aisya,
Tenggara, 22 Mei 2010

Komentar

  1. hadeeuuhhh..
    kamu puitis banget sih sayangg..
    *smooch

    BalasHapus
  2. buat kamu nih, say....cepet pulang dong. biar hidupku kembali menyala...

    BalasHapus
  3. like this, ica. schreib noch mehr weiter!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.

Si Kembar Lahir

Ada empat orang bapak menunggu istrinya yang sedang melahirkan. Keluarlah suster dan memberi selamat kepada Bapak yang pertama.  Suster    : Selamat, anak Bapak kembar! Bapak 1 : Kebetulan saya kerja di PT. Kacang Dua Kelinci Kemudian Suster menghampiri Bapak yang kedua Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tiga! Bapak 2 : Oh, ngga heran, saya kan kerja di PT. Tiga Roda. Berikutnya Suster menyampaikan kebahagiaan kepada Bapak yang ketiga Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tujuh! Bapak 3 : Ah, pasti dong, saya kan kerja di PT. Bintang Tujuh Tiba-tiba Bapak yang keempat jatuh pingsan. Ternyata dia tidak dapat membayangkan jumlah anaknya, karena dia anggota Densus 88!! Sumber: Tidak diketahui dengan jelas.