Langsung ke konten utama

Surat Bernada Minor

Jinga, kau bermuram durja. Apa karena aku lama tak menulis untukmu? atau karena nada - nada minor yang tergores dalam tulisanku? Aku tahu rasa kehilangan, Jingga. Bahkan rasa kehilangan atas apa yang tak pernah kita miliki.


Jingga, maafkan aku. Pikiranku tak sebebas dulu. Kau ingat, bagaimana dulu aku bisa merasa tentram dengan hanya menatap warna keemasanmu meski di tengah keramaian kota yang menyebalkan? Kau ingat, bagaimana dulu aku dapat berkata sederhana akan satu lembar hidup? Kau ingat, bagaimana dulu semua hal nampak begitu kecil dan sederhana dalam pandanganku? Aku lupa bagaimana dulu aku bisa melakukan itu. Aku kehilangan juga, Jingga, atas diriku sendiri.

Jingga, aku ingin bisa kembali bebas. Lama aku menjadi budak pikiranku sendiri, aku ingin lari dari semua yang aku ketahui. Menelantarkan diri. Menjadi pasir, menjadi debu, menjadi panas, menjadi dingin. Menjadi yang menyingkir dan menjadi bumi. Berserah pada alam, menyerahkan hidup, mengubur dunia. Berkawan semut, capung, angin, air, dan dedaunan kering. Aku ingin bebas dari pikiranku. Agar hatiku leluasa mencicipi keluasan makna.

Jingga, dapatkah kau menolongku? Membuatku lebih dekat pada Apa Yang memilikiku. Untuk satu damai yang aku rindu. Demi satu senyum di senjamu. Untuk satu kesejukkan di bawah tanah merah 2 x 1.  

Komentar

  1. MANTEB BANGET. 2 thumbs up dah! :D

    BalasHapus
  2. satu senyum di satu senja yang penuh dengan ketulusan...aahh..makin indah memandang senjanya sendiri...

    kunjungan pertamaku...:)

    BalasHapus
  3. Cuit cuittt.... Web camer, nih ye.. Lucu juga siy. Keren lah

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senggama Sastra dan Lagu Lama

Pagi menjelang siang tapi belum waktunya untuk menjemput si kecil pulang. Pada rongga waktu itu saya isi dengan membaca buku. Setelah terhempas gelombang kehidupan, saya sering kali merasa kosong. Lalu saya menceburkan diri ke dunia baca, terutama karya sastra Indonesia. Ada yang mudah dimaknai, adapula yang kalimatnya perlu dibaca berulang kali. Lalu saya duduk di kursi dan membuka buku. Tiba-tiba saya ingin menambahkan suasana. Saya memilah-milih kumpulan lagu dalam iPod. Bosan, hingga teringat ada kebiasaan lama yang ingin saya lakukan. Ya, mendengarkan radio. Saya nyalakan radio dan mengarahkan transistornya ke saluran 91.7 FM, namanya INB Radio Bandung. Dulu tak sengaja menemukan saluran tersebut, menjadikannya station favorit. Ternyata.... Baca Selengkapnya >>

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.