Jinga, kau bermuram durja. Apa karena aku lama tak menulis untukmu? atau karena nada - nada minor yang tergores dalam tulisanku? Aku tahu rasa kehilangan, Jingga. Bahkan rasa kehilangan atas apa yang tak pernah kita miliki.
Jingga, maafkan aku. Pikiranku tak sebebas dulu. Kau ingat, bagaimana dulu aku bisa merasa tentram dengan hanya menatap warna keemasanmu meski di tengah keramaian kota yang menyebalkan? Kau ingat, bagaimana dulu aku dapat berkata sederhana akan satu lembar hidup? Kau ingat, bagaimana dulu semua hal nampak begitu kecil dan sederhana dalam pandanganku? Aku lupa bagaimana dulu aku bisa melakukan itu. Aku kehilangan juga, Jingga, atas diriku sendiri.
Jingga, aku ingin bisa kembali bebas. Lama aku menjadi budak pikiranku sendiri, aku ingin lari dari semua yang aku ketahui. Menelantarkan diri. Menjadi pasir, menjadi debu, menjadi panas, menjadi dingin. Menjadi yang menyingkir dan menjadi bumi. Berserah pada alam, menyerahkan hidup, mengubur dunia. Berkawan semut, capung, angin, air, dan dedaunan kering. Aku ingin bebas dari pikiranku. Agar hatiku leluasa mencicipi keluasan makna.
Jingga, dapatkah kau menolongku? Membuatku lebih dekat pada Apa Yang memilikiku. Untuk satu damai yang aku rindu. Demi satu senyum di senjamu. Untuk satu kesejukkan di bawah tanah merah 2 x 1.
MANTEB BANGET. 2 thumbs up dah! :D
BalasHapushahaha...thanks...
BalasHapussatu senyum di satu senja yang penuh dengan ketulusan...aahh..makin indah memandang senjanya sendiri...
BalasHapuskunjungan pertamaku...:)
Cuit cuittt.... Web camer, nih ye.. Lucu juga siy. Keren lah
BalasHapus