Langsung ke konten utama

Fly Through Memories

Pikiran saya melayang pada memori ketika kami masih menjadi sepasang camar dan senja. Berbicara tentang jingga sehabis hujan rintik-rintik di tengah kemacetan kota melalui alat komunikasi kecil yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan jempol tangan. Saya mencoba mengingat apa yang sebetulnya saya rasakan pada masa itu, sudah hadirkah kekhawatiran yang kini saya rasakan setiap hari?


Saya benar-benar lupa menjadi orang yang berjalan apa adanya tanpa banyak takut. Menjadi temaram. Terang dan gelap bersamaan. Seperti kantung teh yang dicelupkan terlalu lama dalam segelas air, warna jingga ini sudah mulai terlalu pekat sampai saya sulit melihat. Pekat dan kotor.

Sepertinya saya berharap terlalu banyak. Dan saya tidak sabar menjalani proses lika-likunya. Mungkin itu yang menyebabkan bangun tidur saya selalu disertai rasa tak enak dalam hati. Rasa takut, cemas, dan tak percaya bercampur aduk. Dulu perasaan apa yang saya rasa? Ketika selalu terbangun pada dini hari karena bunyi sms dari ponsel saya. Mengindikasikan senjana jingga saya belum tertidur di kasurnya. 

Sama-sama tidur saya tidak tenang. Dulu tidak tenang karena senjana jingga saya selalu membangunkan saya saat dini hari dan memaksa saya untuk menemaninya berceloteh hingga saya kembali terlelap tidur sedangkan ia tidak bisa tidur lebih cepat dari saya. Sekarang saya tidur tak tenang juga, terbangun setiap dini hari tanpa tahu kenapa. Tak ada sms. Hanya bangun disertai perasaan tak enak itu yang kerap mendorong cairan mata saya keluar tiba-tiba. Memaksa saya membenamkan wajah ke bantal, memeluk guling erat-erat. 

Dulu apa yang saya rasakan? Jauh lebih mengenakan sepertinya... 

Komentar

  1. What's going on, I wonder? You gotta tell me when you're here..

    BalasHapus
  2. totally.
    kayanya kita bener2 di situasi yang
    sama ca. :(
    im sick of all this shit!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.

Si Kembar Lahir

Ada empat orang bapak menunggu istrinya yang sedang melahirkan. Keluarlah suster dan memberi selamat kepada Bapak yang pertama.  Suster    : Selamat, anak Bapak kembar! Bapak 1 : Kebetulan saya kerja di PT. Kacang Dua Kelinci Kemudian Suster menghampiri Bapak yang kedua Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tiga! Bapak 2 : Oh, ngga heran, saya kan kerja di PT. Tiga Roda. Berikutnya Suster menyampaikan kebahagiaan kepada Bapak yang ketiga Suster   : Selamat, anak Bapak kembar tujuh! Bapak 3 : Ah, pasti dong, saya kan kerja di PT. Bintang Tujuh Tiba-tiba Bapak yang keempat jatuh pingsan. Ternyata dia tidak dapat membayangkan jumlah anaknya, karena dia anggota Densus 88!! Sumber: Tidak diketahui dengan jelas.