Pikiran saya melayang pada memori ketika kami masih menjadi sepasang camar dan senja. Berbicara tentang jingga sehabis hujan rintik-rintik di tengah kemacetan kota melalui alat komunikasi kecil yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan jempol tangan. Saya mencoba mengingat apa yang sebetulnya saya rasakan pada masa itu, sudah hadirkah kekhawatiran yang kini saya rasakan setiap hari?
Saya benar-benar lupa menjadi orang yang berjalan apa adanya tanpa banyak takut. Menjadi temaram. Terang dan gelap bersamaan. Seperti kantung teh yang dicelupkan terlalu lama dalam segelas air, warna jingga ini sudah mulai terlalu pekat sampai saya sulit melihat. Pekat dan kotor.
Sepertinya saya berharap terlalu banyak. Dan saya tidak sabar menjalani proses lika-likunya. Mungkin itu yang menyebabkan bangun tidur saya selalu disertai rasa tak enak dalam hati. Rasa takut, cemas, dan tak percaya bercampur aduk. Dulu perasaan apa yang saya rasa? Ketika selalu terbangun pada dini hari karena bunyi sms dari ponsel saya. Mengindikasikan senjana jingga saya belum tertidur di kasurnya.
Sama-sama tidur saya tidak tenang. Dulu tidak tenang karena senjana jingga saya selalu membangunkan saya saat dini hari dan memaksa saya untuk menemaninya berceloteh hingga saya kembali terlelap tidur sedangkan ia tidak bisa tidur lebih cepat dari saya. Sekarang saya tidur tak tenang juga, terbangun setiap dini hari tanpa tahu kenapa. Tak ada sms. Hanya bangun disertai perasaan tak enak itu yang kerap mendorong cairan mata saya keluar tiba-tiba. Memaksa saya membenamkan wajah ke bantal, memeluk guling erat-erat.
Dulu apa yang saya rasakan? Jauh lebih mengenakan sepertinya...
What's going on, I wonder? You gotta tell me when you're here..
BalasHapustotally.
BalasHapuskayanya kita bener2 di situasi yang
sama ca. :(
im sick of all this shit!
Hans>> betuuuuuuuuLLLLLLL
BalasHapus