Luka itu kembali terbuka tepat ketika orang-orang di kanan kiriku tertawa puas akan rencana busuk yang mereka canangkan. Pintu memori yang selama ini kucoba tutup rapat-rapat membuka perlahan, memperlihatkan luka, kebencian, dan dendam yang nyatanya masih membara. Pintu itu memperlihatkan gambaran peristiwa paling menyebalkan tiga tahun lalu.
Sahabat saya berlari berurai air mata, ketika matahari mulai turun. Saya tidak ada disisinya saat itu, she's been punked. Dikerjai tanpa hormat. Dikerjai dengan cara menjijikan oleh sekomplotan orang yang menganggap dirinya adalah tetua dari kami anak baru, dan salah seorangnya adalah pasangan saya waktu itu. Sahabat saya dihina dan dicaci, direndahkan, diperintah pergi ke sana ke sini untuk sesuatu yang fiktif. Mengurus perizinan yang fiktif. Dan saya tidak ada disisinya. Saya tidak ada untuk melindunginya.
Kami (saya) dipanggang dalam bara api kebencian, itulah yang sesungguhnya mereka tanamkan dalam diri kami ketika kami dipanggang, ditahan dalam sebuah ruang kecil, sumpek, dan dingin yang disebut tempat berkumpulnya anak himpunan. Diberondoli pertanyaan yang terus diulang, kami tetap bergeming. Kata-kata memuakan mereka mencekik kami. Di hadapan kami, mereka tunjukan seolah-olah mereka yang paling punya kuasa, seolah mereka yang paling benar, di belakang kami mereka tertawa puas melihat ketakberdayaan kami. Mereka sebut itu dengan kebodohan. Sesungguhnya, mereka telah menanamkan kedengkian di hati kami, yang tidak akan pernah hilang oleh waktu. Tidak akan pernah.
-----------------------------------------------------
Dan aku sedih, melihat bayangan tiga tahun lalu itu, di mata orang yang paling aku kasihi sekarang. Yang ikut tertawa akan rencana busuk itu. Aku diam. Lesu. Oh, tidak, rasa benci dan marah itu datang kembali.
Komentar
Posting Komentar