Langsung ke konten utama

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.


Sial, penyakit hujan deras kambuh. Mati lampu. Masalah yang belakangan menjadi sebuah hal yang biasa sehingga orang-orang menanggapinya pun dengan biasa saja. “Mati lampu, oh sudah biasa, soalnya hujan deras,”. “Hujan deras, banjir, oh sudah biasa, banyak sampah yang menyumbat saluran air,”. Titik. Tanpa ada kelanjutan untuk menjadi lebih baik. Kita seperti dibiasakan dalam kondisi yang tidak patut. Setelah semua terlanjur terjadi, semua saling menunjuk dan menyalahkan. Semua sibuk saling menyalahkan sehingga solusi yang keluar dalam pertengkaran tidak digodok lebih baik lalu direalisasikan. Keinginan untuk bangkit dari keterpurukan hanya sebatas ucapan yang melampaui bibir dan terbang pecah di udara tersapu angin. Ada yang kesal karena banjir, ada yang kesal karena mati lampu. Tapi mereka hanya kesal, menyalahkan penanganan pemerintah yang lamban. Mengetahui kesalahan perilaku seperti boros energi dan buang sampah sembarangan. Mereka kesal akan akibatnya, tetapi mereka tidak menyesalkan sebab dari akibat tersebut.

Ada yang kesal melihat lenggak-lenggok petinggi seolah kegiatan mereka itu penting. Tur sana dan sini menghabiskan miliaran uang rakyat. Keluar masuk bui layaknya rumah sendiri. Mereka tahu bahwa rakyat tahu mereka busuk, tapi bodohnya kita masih saja termakan tipu rayu mereka, hingga mereka lagi-lagi terpilih. Siapa yang becus, ketika semua sudah ada dalam hipnotis uang? Kita semua tahu, uang mempunyai kekuatan yang terkuat. Bahkan untuk membeli ideologi, prinsip dan iman.

Ada yang kecewa terhadap tiap keadaan yang terjadi di negeri yang katanya adalah ‘surga dunia yang tersembunyi’. Mereka yang kesal membawa spanduk, berorasi, membakar ban, memblokir jalan, sampai menggulingkan suatu rezim secara berapi-api. Mereka mengutuk dan membuat rusuh, memperkeruh situasi tanpa membantu merealisasikan solusi. Mereka hanya menjadi hakim jalanan yang tak berguna, tetapi ketika tubuh mereka tertembus timah panas, mereka ingin menamakan dirinya  pahlawan reformasi. Menorehkan nama dalam sejarah kelam bumi pertiwi. Bah, mereka – mereka itu juga yang bertikai dengan saudara sendiri, saling melempari batu dengan perkampungan sebelah, kampus tetangga, atau musuh agama. Mereka yang tidak menghargai perbedaan, mereka yang melunturkan hakikat bhineka tunggal ika. Aktivis juga mahasiswa, pasukan elite pelajar yang memberikan contoh tak terpelajar. Tak elite. Yang kerap datang terlambat ke kelas, yang kerap membolos atau mengulang pelajaran hingga terlambat kelulusan. Dan mereka ingin membanggakan dirinya sebagai pahlawan reformasi. Mereka yang sok menjadi idealis.

Ada yang kesal menyaksikan tingkah laku orang-orang itu dan hanya berani menuangkan kekesalan dalam tulisan di blog.

Hujan sudah reda, saya masih memegang erat ponsel. Saya lempar ke atas meja.
Ada yang kesal, tak bisa menuliskan dan membagi sunyi dengan dia di sana yang mungkin sedang sibuk sendiri sampai tak ingat ada yang sedang terjebak sunyi sepi.
  

Komentar

  1. suka banget sama nih post.
    bener banget.
    orang-orang selalu menyalahkan pemerintah, contohnya kalo banjir. penanganan pemerintah dianggap lamban. dia sendiri disuruh buang sampah di tempatnya aja susah kayak disuruh makan tai.
    yang gak habis pikir. orang yang keluar masuk bui tiba-tiba jadi kepala daerah. cuma bisa geleng-geleng kepala aja.

    indonesia,, indonesia,,

    BalasHapus
  2. iya..ya, hans... aku sendiri bingung. ingin banget indonesia ini lebih masuk akal. lebih baik. tapi bingung aku harus gimana. njelimet, gitu loh...

    BalasHapus
  3. wuri>> bisa gilaaaaaaaaaaaaaaaaaa..............

    BalasHapus
  4. susah ca. buth 350 tahun lagi. hehehe.
    itupun kalo kitanya sadar.
    :))

    BalasHapus
  5. Hans>> berarti kita yang meyadari ada yang salah cuma diam dan menunggu waktu gitu?? ngasih influence ke orang lain itu susah banget ya..

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .