Langsung ke konten utama

Delapan Belas, Dua Puluh Dua Bulan Kemudian

delapan belas, dua puluh dua bulan yang lalu terasa sesak dalam ruang temu yang tersekat oleh waktu. Jingga yang temaram masih terasa hangat membasuh sukma dan rindu membanjiri rongga hati. Setiap hari menghitung jumlah waktu yang terlewati. Hari ini 18 jam, minggu berikutnya bisa mencapai 24 jam, lama setelah hari 24 jam itu, terlewati 38 jam.... tak sering dapat melewati waktu sebanyak itu. Syukur mengalir deras dari bibir, senyum merekah.




Delapan belas, dua puluh dua bulan kemudian. Jingga yang temaram bersembunyi dibalik mendung awan. Atau berkelana menghiasi sisi dunia yang lain. Begitu dingin. Delapan belas, dua puluh dua bulan kemudian, sekat waktu telah runtuh. Maknanya hilang. Lebih dari 24 jam dapat terlewati bersama. Dalam senyum, renung, atau pun ego. Ada tali mengikat begitu kuat hingga sulit untuk berlari, mencoba mencari hangatnya senja dalam balutan jingga yang remang. Tapi hangat itu hilang.

delapan belas, dua puluh dua bulan berikutnya, masih akan terasakah makna waktu yang terlewati? atau tak ada sama sekali.....


 "...kepada yang tercinta // inginnya ku mengeluh // semua resah di diri // mencari jawab pasti..." (Anda-Tentang Seseorang)

Komentar

  1. Langit menyapa senjana jingga,,,

    kuharapa senja tak pernah MATI,simpanlah jingganya sahabat,,,,

    dan tak usah pedulikan tentang WAKTU,,,

    nice, :)
    salam, langitSenja

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.