Aku ingin berkata, ‘ya, aku baik-baik saja. Bahagia.’ dengan lantang kepada mata-mata yang menatapku penuh tanya. Mereka tak mengucap tanya, tetapi mata mereka mengintrogasi. Sungguh aku ingin berkata lantang seperti itu, hanya saja itu akan melanggar janjiku yang tak akan pernah berbohong lagi. Aku tersenyum perih, tapi sebenarnya siapa yang peduli? Mereka tahu ada yang tak beres denganku tapi diam saja. Bahkan orang yang menorehkan luka itu pun acuh tak acuh, mungkin ia sedang tertawa, menggeliat, menikmati angin, atau berjalan dengan rokok kebanggaan menyelip di sela jarinya. Dan aku, aku ingin sekali membuatnya remuk hancur hingga menyamai sakit yang aku derita hingga ia berlutut menangis memohon maaf juga ampun. Sungguh pendendam. Sungguh pemarah. Orang sepertiku sangat pantas ditusuk dengan galah yang diruncingkan ujungnya. Perlahan dan menyakitkan menuju kematian. Agar dia, orang yang menorehkan luka itu, dapat terlengkapi kebahagiannya dengan darah dan nyawa yang terbang.
Aku mondar-mandir dengan wajah murung. Tak karuan suasana hati membuatku sulit bernafas lega. Ada rasa marah di sana, ada rasa benci yang menyelimuti semua perasaan indah yang pernah ada. Yang terbesar adalah rasa sesal karena aku tak pernah bisa berlari dari situasi. Ini seperti hukuman untukku yang berani menentang hukum alam manusia. Sebab itu pula lah Tuhan pun menciptakan hidup satu arah agar orang sepertiku tak bisa kembali ke masa lalu mengulang dan meluruskan kesalahan, agar Ia bisa bebas mencambuk menghukumku dengan rasa carut marut seperti ini. Kini aku mengerti mengapa banyak orang mencinta yang nekat mengubur nyawanya sendiri, karena ketika rasa sakit itu menghampiri dan rasanya sulit untuk menghadapi, menarik nafas tersenggal air mata, denyut jantung terasa terhimpit dinding dada. Seperti membunuh perlahan tapi pasti. Dan kita penderita, akan berpikir yang paling menderita, dan orang yang memberi kita luka hanya tertawa-tawa lupa akan torehan lukanya.
Di dalam selimut aku berguling-guling menangis tanpa air mata. Aku tahu karena ia memberitahu bahwa ia merasa bersalah. Tetapi apa artinya pengakuan itu jika tak dibarengi usaha untuk mendamaikan suasana hati. Mengguyurnya dengan air bunga melati yang dapat mengembalikan kedamaian. Tetapi apa artinya pengakuan rasa bersalah itu jika ia masih tetap menghantam tepat di mana luka itu berada. Luka kembali berdenyut nyeri. Tepat di tempat sakit yang sama. Nafasku tersenggal-senggal, merindukan tangan merengkuhku penuh cinta. Melindungiku dari sakit yang mendera. Tanpa banyak tanya, paham aku sakit, dengan pelukannya ia lapangkan dadaku. Aku rindu rengkuhan tangan seperti itu. Tapi dari siapa? Aku tak berani membuka mulut atas apa yang aku rasa. Aku seberangkan keluhku pada si pembuat luka, dia tak bergeming dan berlindung dalam kebingungan. Berada di dekatnya membuat aku tak nyaman, jauh darinya semakin aku tak nyaman. Lantas ke mana aku mencari udara segar? Dari siapa aku akan mendapatkan obat paling mujarab?
Mata pisau membelai urat nadiku, mengucurkan cairan merah kental. Kunang-kunang pandanganku, terbayang kembali senyum si pembuat luka. Akankah dia merasa menyesal? Akankah dia memikirkan jerit tak kuasa menahan perih luka. Atau dia tersenyum bangga setelah membuatku meregang nyawa? Dan hilang semua derita….
Aisya,
Sudut Sepi, 4 Desember 2010
kalau putus asa yang mau kamu sampaikan di sini, dapet koq. tulisan yang bagus!
BalasHapus-_-" ca. ini cerpen ato beneran nih?
BalasHapusyou made me worried!
-rif >> thank you!
BalasHapusHans>> I'm okay, boy....don't need to be worried. relax, aku ngga akan se-ekstrim seperti apa yang tertulis. :p (cuma di awang-awang aja.hahaha. *pathetic mode on*)