Pada satu kesempatan saya pernah mengatakan satu keinginan pada si Comro untuk memperingati bersama pengulangan tanggal kelahiran alias ulang tahun di Rinjani. Kebetulan tanggal kelahiran kami hanya berbeda 4 hari, dia 6 dan saya 10. Tapi Gunung Rinjani jauh ya, berhubung saya di Bandung, dan saat itu kami masih mahasiswa tingkat akhir. Pertama ngga punya uang, kedua ada yang harus diprioritaskan. Yes, skripsi!
Dua tahun
setelah kelulusan, setelah masing-masing berjuang mengisi dompet sendiri, Comro
menghubungi saya dengan coolnya bilang, "kamu nabung ya. Kita
ke Rinjani.".
Tentu saja
saya menjawabnya dengan, "Oke. kapan?"
"Mei."
begitu jawabnya. Tapi ternyata saya tidak bisa menabung dengan baik. Situasi
finansial sedang carut marut dan rupiah-rupiah itu tak bisa diam di satu
tempat. Pendek kata uang saya tidak cukup untuk pergi. Tapi Comro sudah
bertekad kami harus pergi. "Kamu ngga usah pikirin. Siap-siap aja.".
Setengah senang, seperempat tak enak hati dan seperempat lagi malu luar biasa.
Comro mengirim email yang berisi tiket pesawat dari Bandung ke Denpasar. Di
sana tertulis tanggal 4 kami berangkat, tapi Comro berangkatnya dari Balikpapan
dan meeting point kami tentu saja di Ngurah Rai. Ini adalah kali kedua
saya mendaki gunung, setelah Semeru di tahun 2010.
Saya maupun Comro baru pertama kali ke Rinjani, saya sendiri dengan bodohnya
tidak membekali diri dengan persiapan fisik dan informasi detail mengenai
perjalan kali ini.
--- SABTU,
4 MEI ----
Siang itu
saya sudah siap berangkat. Sama seperti dulu ke Semeru, saya dipaksa berjanji
oleh wanita yang melahirkan saya untuk tidak naik ke puncak. Baiklah, asal bisa
ke Rinjani saya berjanji untuk tidak memaksa ke Puncak. Tas carrier seberat 11
kilogram sudah naik di motor dan tinggal memutar gas. Namun langkah saya
terhenti saat telepon genggam berdering. Indikatornya menunjukan nama Comro.
"Hallo," jawab saya. "Ini udah mau berangkat ke Husein."
kata saya. Di ujung telepon Comro cekikikan dengan kikuknya.
"Kenapa?" tanya saya curiga.
"Ehm...
gini. Saya masih banyak kerjaan yang harus diberesin. Takutnya ngga kekejar
pesawat sore ini." ujar Comro. Dia seharusnya berangkat dari Balikpapan
dengan pesawat pukul 15.30, sedangkan saya dari Bandung pukul 12.45.
"gimana kalau ditunda dan berangkatnya besok aja? Nanti saya carikan kamu
tiket yang baru." begitu kata Comro.
Dengan
kesal saya jawab, "Ngga mau. Saya udah mau berangkat sekarang. Motor udah
tinggal di gas. Kamu kalau ngga bisa beres hari ini, ya sudah. Kamu berangkat
besok aja, nanti saya cari penginapan di deket Bandara atau nginap di
Bandara."
"yah
jangan begitu dong..."
"saya
mau berangkat hari ini. Lagipula kalau ditunda besok, ngeluarin uangnya dua
kali. lebar (sayang duit)." begitu egoisnya saya. Comro pun mengalah dan
bilang akan berusaha untuk beres hari ini. Ia berjanji untuk segera memberi
kabar kepastian soal keberangkatannya. Terbanglah saya akhirnya ke Denpasar.
Saya menunggu dan menunggu di Ngurah Rai yang ramai itu. Makan, dengerin iPod,
bolak balik buka handphone, memerhatikan lalu lalang penumpang,
begitulah saya mencoba membunuh waktu. Maghrib akhirnya pesawat dari
Balikpapan landing. Dari pintu keluar berjalan sesosok lelaki
kurus, berkacamata, belum cukuran kumis, mengenakan baju hitam lengan panjang,
celana pendek yang memamerkan betis super skinny (jauh bila
dibandingkan betis saya yang lebih mirip tales bogor), sendal gunung, dan topi
hitam. Pundaknya yang hanya terdiri dari tulang dan kulit itu masih kuat
menggendong tas seberat 17 kg. Dia senyam-seyum ke arah saya. Itu adalah
pertemuan pertama kami setelah satu tahun lamanya terpisah jarak.
"Saya
belum mandi," ujarnya. No wonder bau asem menyengat
tercium dari badannya. Tapi yah, sejujurnya saya kangen sama bau itu. Bau yang
begitu akrab di indera penciuman saya selama dua tahun kami menimba ilmu di
kampus dan jurusan yang sama dulu.
Seharusnya
kami bisa naik Damri hingga terminal Ubung, dari sana dilanjutkan dengan bus
hingga Padang Bai atau bus langsung ke Mataram, Lombok. Tapi berhubung sudah
jam setengah tujuh malam lebih, Bus Damri pun tak lagi beroperasi. Pilihan
lainnya adalah taksi. Sang Supir sudah barang pasti bertanya pada kami mau ke
mana tujuannya ke Ubung dan si Comro menjawab bahwa kami mau ke Rinjani di
Lombok.
"Rinjani
itu apa? Pantai?" Saya terhentak mendengar pertanyaan Pak Supir. Emang
benar ngga tahu atau hanya sekedar basa basi ngobrol menyambut wisatawan?
Apapun itu Comro menjawabnya dengan sabar, "bukan, Bli. Itu nama
gunung."
"Oh,
mas sama mba nya ini mau mendaki? Wuah wuah... hebat ya. Di Bali juga ada, mas.
Gunung Agung. Ke sana juga suka banyak turisnya." begitu timpal Bapak
beranak empat ini. Selama 2 – 3 jam perjalanan menuju Ubung, obrolan hangat
terus terjalin diantara kami bertiga. Malam itu jalanan cukup macet karena ada
perbaikan infrastruktur dimana-mana. Sang Supir kemudian menawarkan diri untuk
mengantar kami berdua langsung ke Padang Bai dengan ongkos Rp. 300.000. Dari
pelabuhan Padang Bai, kapal feri menuju lombok berangkat setiap satu jam sekali
dan beroperasi 24 jam. Tapi saat itu pemikiran kami adalah bus akan lebih murah
biayanya, sehingga saya dan Comro memutuskan untuk tetap ke Terminal
Ubung.
Sesampainya
di Terminal Ubung sekitar jam 9 malam, tidak ada lagi petugas loket resmi dan
kami berdua digiring ke "markas" bus oleh para calo. Tujuan kami
adalah langsung ke Mataram dan ternyata bus ke Mataram ini berasal dari Jawa
hingga baru nyampe Ubung sekitar pukul 02.00 dini hari. Ada pula mini bus alias
elf menuju ke Padang Bai, tapi ngetemnya lumayan juga dan selalu tak
berpenumpang. Akhirnya Comro membeli tiket bus ke Mataram dan harganya Rp.
150.000 per orang. Hahaha... konyol sungguh konyol. Keluar juga itu uang Rp.
300.000. Di ruang kecil itu sudah banyak penumpang yang juga tengah menunggu
bus, tujuannya beragam. Ada yang ke Mataram, ada pula yang ke Bima, Sumba.
Saya dan
Comro terlibat obrolan bersama seorang pria muda yang hendak pulang ke Bima.
Kata si calo, busnya akan datang pukul 10 malam. Tapi nyatanya si bus yang
ditunggu tidak nongol dan kata calo nya lagi bus ke Bima baru datang pukul
03.00. Dalam hati aku tertawa, bukan menertawakan si Mas yang hendak pulang
kampung. Aku tertawa karena punya firasat bernasib sama dan akan menghabiskan
sepanjang malam di Terminal Ubung menunggu bus yang tak pasti datangnya. Betul
lah begitu karena bus saya juga tidak datang sesuai waktu yang dijanjikan calo.
Entah kapan, ya sudahlah. Sudah terjadi, nikmati saja pengalaman yang indah
ini.
Secara
bergantian, kami tidur di ruang penuh asap rokok itu. Baunya minta ampun.
Perokok adalah orang paling egois dan jahat menurut saya. Belum lagi dalam satu
malam itu dua perkelahian seru terjadi antara para calo yang mabuk. Padahal tak
jauh dari sana terdapat pos polisi. Tapi pesta alkohol dan perkelahian seperti
sah sah saja. Saya yang tidak bisa istirahat dan jengah melihat kekonyolan
manusia itu mengajak Comro untuk ngadem di Alfamart seberang terminal. Sekalian
saya mau numpang BAB alias Buang Air Besar (sebenarnya inilah tujuan utama saya
ke Alfamart). Sambil pura-pura beli minum dan sabun muka, saya menanyakan letak
toilet. Setelah sukses mengosongkan isi perut, kami cukup lama ngadem di
Alfamart. Ngobrol ngaler ngidul dan bercengkrama. Hari semakin pagi,
pukul 4.00 subuh Bus menuju Bima datang dan kami berpisah dengan si Mas manis
itu. Setelah matahari mulai menerangi, saya ngobrol dengan salah satu calo
tentang perkelahian semalam. Mereka minta maaf karena membuat tidak nyaman,
tapi saya cuma senyam-senyum. Saya berfoto dan mengucap sayonara sama si abang
calo ketika bus yang ditunggu pun akhirnya datang pukul 07.30 pagi.
--- MINGGU,
5 MEI ---
Laut biru dengan tanah hijau dikejauhan menjadi pemandangan sejuk di perjalanan. Puncak Gunung Agung mencuat dari balik awan tipis, seperti mengawasi lalu-lalang kapal di wilayah kekuasaannya. Berhubung pertama kali naik feri, kerjaan saya naik turun terus, foto di segala sudut. Ada ruangan AC sebetulnya, kita bisa ngadem di situ, tapi berhubung AC-nya dingin banget dan saya alergi sama AC sedingin itu, jadi lebih memilih berjemur di luar. Pulau Lombok yang tak kunjung mendekat dan perjalanan panjang dari Bandung sampai Ubung kembali membuat saya tertidur diemperan dek. Tentunya cari tempat yang sedikit teduh biar tak terlalu tersiksa. Begitu memasuki Pelabuhan Lembar, penumpang diperintahkan untuk kembali ke bus nya masing-masing. Namun keluar dari kapal feri bukanlah perkara mudah. Ngantrinya... wuidih. Kendaraan harus menunggu lama dan bus saya adalah bus yang pertama masuk. Artinya akan terakhir keluar. Parkirnya pun tak beraturan bentuk. Sadaaaap.... sepuluh menit... tiga puluh menit... enam puluh menit... menunggu dalam bus di garasi kapal feri. Saya bahkan sempat tidur, dan saat terbangun masih juga ada di dalam feri. Entah pukul berapa itu, tapi pasti sudah sangat siang mungkin menjelang sore. Setelah berhasil keluar, bus melewati jalan berkelok-kelok menuju kota. Pemandangan sawah dan bukit khas desa memanjakan mata. Saya dan Comro turun di Terminal Mandalika, kami disambut ojeg dan sopir angkot. Melihat tas kami mereka tahu tujuan kami adalah Rinjani. Serta merta menawarkan untuk langsung ke Sembalun atau Senaru. Tapi tidak, tujuan kami adalah Mataram karena hendak bertemu teman lama terlebih dahulu. Agus namanya. Dia adalah orang Lombok asli dan kuliah satu jurusan dengan saya dan Comro di Jatinangor. Istrinya yang orang Bandung dia bawa menetap di Lombok. Reunion time. Kami melanjutkan naik angkot menuju pusat Mataram.
“Mas nya
dari mana ini?” Tanya AA Sopir.
“Kalimantan,”
jawab Comro.
“Wuah jauh
ya. Nda langsung ke Sembalun aja?” tanyanya lagi.
“Nda. Kita
ke rumah teman dulu di Mataram.” jawab Comro.
“30.000 ya,
Mas. Langsung diantar sampe rumahnya.”
“Wuah, ngga
usah, Bang.” kata saya. “Kita ngga buru-buru. Silahkan sambil angkut penumpang
lain aja.”. Saya dan Comro tahu ongkos angkot sampai Mataram itu Rp. 5.000.
Tapi sopirnya keukeuh mau jadi taksi aja. Jadi ekslusif kita berdua. “ngga,
Bang. Itu ada yang mau naik di depan. Kasihan.”
Akhirnya si
sopir menyerah dan mengangkut penumpang lain itu.
Sambil
menunggu Agus, saya dan Comro mengisi perut di warteg samping mall Mataram. Tak
ragu saya memilih plecing kangkung, penasaran karena belum pernah coba. Sadis.
Pedasnya sadis. Membuat saya memilih untuk tidak menghabiskannya.
“Saya
keliling dulu cari toko bangunan. Kamu tunggu di sini (baca: warteg).” ujar
Comro.
“Lah
ngapain?” Tanya saya.
“Cari
spirtus, kan belum beli.” jawabnya. Spirtus memang penting sebagai bahan bakar
memasak selama kemping. Padahal sekarang sudah ada kompor gas mini untuk
kemping, tapi ya bagaimana lagi kita hanya punya kompor trangia yang harus pake
spirtus. Sialnya setelah lama keliling tak ditemukan juga toko penjual spirtus.
Alternatif lain adalah alkohol, tapi tak terlihat pula apotek terdekat.
Berhubung
sampai di Mataram itu jam 4 sore, saya dan Comro memutuskan untuk bermalam di
Mataram. Kami juga tidak mau merepotkan Agus dan sang Istri yang masih
menumpang di rumah orang tua. Tapi teman lama itu menunjukkan wisma murah yang
harganya Rp. 50.000 per malam. Saat malam tiba, Agus menjemput kami ke
penginapan sembari membawa 1 liter spirtus dari warung sembako milik ibunya. Horray!!
Kemudian
dengan berbekal dua motor, Agus mengajak kami keliling kota Mataram yang tak
seberapa besar. Sepi pula. Keramaian hanya terlihat ketika Saya, Comro, Agus,
dan istrinya yang tengah hamil 2 bulan itu mampir makan malam di warung Ayam
Taliwang paling enak se-Mataram. Enaknya juara. Berhubung ditraktir Agus, saya
makan lahap. Dalihnya menyiapkan energi untuk besok mendaki.
"Wuah,
sayang ya... coba kalian ngga buru-buru kita anter ke Senggigi dulu." ujar
Agus. Senggigi, pantai yang indah. Pertama kali saya mendengar keindahannya
adalah dari buku karangan Mira W berjudul Segurat Bianglala di Pantai Senggigi.
Bahkan Rinjani pun terlukiskan di buku itu. Buku yang romantis.
"Pulangnya
mungkin, Gus." timpal Comro.
"Bisa.
Atau mampir ke Gili. Rugi udah di Lombok ngga sempat ke Gili." kata Agus.
"Wuah...
bener. Ya udah, pulangnya ke Gili kita ya?" kata saya pada Comro.
"Iyah,"
jawabnya.
---- SENIN,
6 MEI ----
"Selamat
ulang tahun!!!" Seru saya menyambut pagi. Comro hanya geleng-geleng malu.
"Ayo kita ke Rinjani hari ini. Siap?"
"Siap,"
jawab Comro mantap.
"Ini
buat kamu." Saya meletakkan sebuah kado tak berbungkus di telapak tangan
pria kurus itu. "Tau kenapa saya kasih kompas?"
"Kenapa?
"Biar
kamu selalu inget jalan pulang. Jangan mendem terus di Samarinda."
Comro
bergidig geli mendengar jawaban saya. "Paling bisa aja kamu."
Oke, dari
Mataram ini kami harus menuju tempat elf yang akan mengantarkan kami ke Pasar
Aikmel. Pagi-pagi sekali kami berangkat. Sebelumnya sarapan nasi uduk dulu di
pinggir jalan. Penjualnya ternyata orang Bandung, saya nyaman ngobrol bahasa
Sunda dengan sang ibu penjual nasi uduk. Melihat bawaan carrier, mengundang
tanya dari penikmat nasi uduk lainnya. Kami mengobrol seperti satu keluarga di
pagi cerah itu. Mereka juga mengingatkan untuk selalu menjaga barang bawaan
dengan baik, terutama tas kecil yang kami selempangkan di badan.
"Kalau
bisa tas kecilnya itu jangan dilepas. apalagi digeletakin di sembarang
tempat," begitu wanti-wantinya. Bagian paling seru dan tak boleh
terlewatkan dari traveling adalah beramah tamah dengan warga lokal. Berada
jauh dari rumah dan mendapatkan kehangatan di tanah yang baru dipijak itu sesuatu
banget. hahaha...
Menuju
tempat elf (mini bus) kami naik angkot. Asyiknya angkot di Lombok, si sopirnya
mengantarkan penumpang hingga ke depan rumah. Baiknya Pak Sopir tidak pada
penumpang warga setempat saja, kami pun diantar untuk naik elf yang tidak
ngetem. Elf ini kemudian membawa kami hingga ke Pasar Aikmel, tempat dimana
transportasi menuju Sembalun menunggu para penumpangnya. Kami sampai di Aikmel
sekitar pukul 09.30 pagi, tetapi pick-up yang kami tumpangi baru berangkat
pukul 11.00. Mobil baru berangkat setelah penuh dengan barang-barang kebutuhan
pokok warga desa di Sembalun. Bersama kami, juga menumpang ibu-ibu dan beberapa
remaja warga Sembalun. Perjalanan ditempuh selama 2 jam dengan medan yang
menanjak. Panas terik matahari dan angin dingin pegunungan bersamaan menyayat
kulit. Naik pick-up sayur ini sangat mengasyikan. Terkadang dibuat deg-degan
karena beratnya jalan berkelok dan menanjak itu. Dari jalan raya, pick-up mulai
memasuki kawasan leuweung alias hutan. Di kiri ada tebing rawan longsor,
di kanannya jurang. Untungnya jalanannya tidak rusak, tapi kelokan tajam dan tanjakan
curam adalah tantangan yang harus ditaklukan. Belum lagi jika ada mobil dari
arah berlawanan karena jalannya tidaklah cukup lebar. Barang bawaan yang sudah
disusun rapi pun perlahan mulai berjatuhan karena gravitasi. Sehingga kami,
para penumpang, bahu-membahu menjaga barang untuk tetap pada susunannya. Panas
matahari tak terasa lagi karena rindangnya pepohonan. Dari balik pohon itu
terdengar nyaring nyanyian burung, bahkan sesekali terdengar jeritan primata yang
saling bersahutan. Di tengah alam kita senantiasa disadarkan bahwa manusia
hanyalah sebagian kecil dari apa yang disebut kehidupan. Bahwa tak hanya
manusia yang menghirup udara itu. Hidup rukun berdampingan dengan makhluk
lainnya bisa mengantarkan kita pada rasa damai yang menyejukkan jiwa.
Sesampainya
di basecamp Taman Nasional Gunung Rinjani pintu Sembalun, waktu sudah
menunjukkan pukul 13.00. Kondisi saat itu sangat sepi, hanya ada tiga orang
pendaki asal Jakarta yang tengah bersiap untuk memulai perjalanan. Tetapi
menurut petugas, tadi pagi banyak pendaki yang sudah berangkat. Saya dan Comro
terlebih dulu beribadah dzuhur dan makan siang sebelum meneruskan perjalanan.
Tak lama sebelum berangkat datang lagi satu rombongan yang terdiri dari 5
sekawan. Kami sempat mengobrol sejenak sebelum pamit duluan. Perjalanan dari basecamp
hingga ke pos I sangat jauh dengan melewati perkebunan warga dan beberapa
jembatan. Petugas menawarkan ojeg pada kami untuk menghemat tenaga dan waktu.
Kendaraan bermotor itu bisa mengantar hingga jembatan pertama sebelum
benar-benar memasuki jalur setapak. Tapi dengan semangat pejalan kaki, kami
menolak secara halus.
Di tengah
perjalanan baik saya dan Comro menyesal telah menolak tawaran ojeg itu. Jarak basecamp
menuju jembatan pertama jauhnya lebih dari 2 kilometer. Dengan belasan kilogram
di pundak, perjalanan panjang dari barat Pulau Jawa, dan tanpa persiapan fisik,
membuat saya kerap melakukan istirahat. Padahal ini masih jalan biasa, tidak
begitu menanjak, jalanannya hanya rusak, berbatu, dan tak ada pohon rindang. Di
tengah perjalanan kami bertemu ibu-ibu tani yang tengah berjalan pulang dari ladang,
kemudian ada juga bapak-bapak mengangkut rumput dengan motor 2 taknya. Tarikan
motor jadul itu kerap membuat debu tanah berseliweran. Jalan santai (baca:
lambat) saya dan Comro akhirnya tersusul juga oleh rombongan 5 sekawan yang
tadi bertemu di basecamp. Bang Bimo, Bang Gusdur, Mas Gilang, dan
kawan-kawan mengambil alih posisi terdepan. Saya jadi semangat dan mengikuti
derap langkah mereka yang lebih cepat.
Perlahan
tapi pasti medan dari jalan lebar dengan pemandangan kanan kiri ladang warga,
berubah menjadi jalur setapak dan padang savana. Inilah Sembalun, menawarkan
pemandangan bukit dan rumput-rumput liar di sekitar. Mungkinkah di balik rumput
itu ada ular yang merasa terganggu dengan derap kaki kami? Entahlah, matahari
terus tenggelam hingga yang terlihat hanya lautan bintang di angkasa.
Pendakian
melalui pintu Sembalun memang lebih landai dibandingkan Senaru. Jalur ini lebih
banyak didominasi pendaki lokal (wisatwan domestik) karena tujuan utamanya
adalah puncak Rinjani. Dari Sembalun memang lebih dekat, kalau Senaru justru
lebih dekat ke Danau Segara Anak yang banyak jadi incaran turis mancanegara.
Meski dibilang lebih landai, tapi jangan bayangkan Sembalun sebagai medan
datar. Kita tetap mendaki, jalurnya menanjak hanya kemiringannya tidak parah
(baca: belum). Malam semakin larut, semua mengeluarkan senter dan tetap menjaga
jarak sedekat mungkin. Saya hanya berjalan lurus mengikuti mas-mas didepan,
sedangkan Comro berjaga di belakang. Kanan kiri sepertinya jurang, terasa angin
yang berhembus cukup kencang dan dingin. Tetapi berhubung pembakaran dalam
tubuh ini gila-gilaan akibat jarak tempuh yang jauh, dinginnya udara tak sampai
membuat menggigil.
“Kalau
terlalu malam, kita nginep di Pos I aja. Kalau mereka mau lanjut terus, kita
ngga usah ikutan.” bisik Comro.
“Oke.”
jawab saya dengan nafas tersengal-sengal. Pukul 7 malam lewat, kami bertujuh
sampai di Pos I. Terdapat sebuah saung tanpa atap di sana dan disebelahnya
sebuah tong sampah. Langsung saja saya mengeluarkan sampah-sampah bungkus
cokelat, roti, serta minuman instan yang sepanjang jalan tersimpan di saku
celana. Pos ini berada di area datar yang cukup luas dan terbuka. Kenapa
terbuka, karena angin yang bertiup sangat kencang. Saya mengutarakan rencana
untuk menginap di Pos I, tapi menurut salah seorang dari 5 sekawan (sebut saja
Mas Semarang karena asalnya dari Semarang) lebih baik menginap di Pos II. Dia
sudah pernah ke Rinjani sebelumnya.
“Di sana
anginnya ngga gede dan sangat dekat dengan sumber air. Udah dekat kok.”.
Akhirnya Comro dan saya nurut ikut rombongan. Ketika badan mulai menggigil,
artinya istirahat sudah cukup dan perjalanan harus dilanjutkan. Setelah
istirahat cukup lama, langkah kaki menjadi semakin berat. Stamina jelas sudah
sangat menurun sehingga lelah begitu terasa. Tapi Mas Semarang terus memberi semangat,
“ayo, itu di depan Pos II. Mau lari aja biar cepet sampe?” kata-kata itu terus diulang.
PHP alias pemberi harapan palsu. Dekatnya masih harus terus dipanjat.
Pos
II mulai terlihat. Lampu-lampu dari tenda semakin dekat. Wuah ternyata ramai
sekali di pos ini, bahkan kami kesulitan menemukan tempat untuk mendirikan
tenda. Pos II berupa jembatan, dibawahnya ngarai dan sungai. Di sana juga ada
saung yang letaknya dibawah jembatan, dekat dengan mata air yang mengalir ke
sungai berbatu. Area ini dikelilingi tebing batu sehingga menahan angin. Oleh
sebab itu tidak begitu terasa dingin. Kami bertujuh adalah rombongan terakhir
yang sampai di Pos II, kebagian tempat yang sebetulnya kurang rata untuk
mendirikan tenda. Tapi tak apalah, masih untung bisa dapat tempat dibandingkan harus
berjalan lagi. Setelah tenda berhasil didirikan dengan semangat gotong royong,
acara selanjutnya adalah memasak. Comro mulai merapikan barang-barang di dalam
tenda, sedangkan saya berada dibagian dapur. Ada satu insiden ketika sedang
menyalakan api, angin berhembus cukup kencang dan mengakibatkan kompor berisi spirtus
yang menyala terjatuh hingga membakar rumput. Awalnya saya panik takut api
keburu merembet membakar tenda. Akhirnya api berhasil padam dengan cara saya injak pake sepatu, tanpa menarik perhatian satu orang pun. Thank God. Makan malam
saat itu memang cuma mie rebus dan segelas cokelat panas, tapi ampuh membuat
tidur nyenyak dan bangun segar bugar di pagi keesokan harinya.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)