Langsung ke konten utama

Tawa

“hahahahahahahaha...” Lia tertawa.
“hahahahahahahaha...” Juki tertawa.
“hahahahahahahaha...” Jasti tertawa.
“hahahahahahahaha...” Nia tertawa.
“hahahahahahahaha...” Nita tertawa.
“hahahahahahahaha...” Ushrie tertawa.
“hahahahahahahaha...” Irene tertawa.
“hahahahahahahaha...” Hasni tertawa.
“hahahahahahahaha...” aku tertawa.

Kami semua terbahak – bahak. Tertawa sekeras – kerasnya, sepuas – puasnya selagi masih bisa. Kalau perlu hingga gigi – gigi kami menjadi kering dan perut ini rasanya melilit. Air mata tawa pun membanjiri pipi kami. Kami semua tergelak.

“hahahahahahahaha...” Alle tertawa.
“hahahahahahahaha...” Dimas tertawa.
“hahahahahahahaha...” Abox tertawa.
“hahahahahahahaha...” Juree tertawa.
“hahahahahahahaha...” Gilang tertawa.
“hahahahahahahaha...” Czar, tawanya yang paling keras diantara kami. Saat dia tertawa badannya bergerak ke sana – ke mari seperti orang sedang moshing di konser Korn.
“hahahahahahahaha...” aku tertawa.

Orang – orang menilik kami seakan – akan kami adalah sekawanan pasien sakit jiwa yang melarikan diri dari RSJ. Tetapi seringnya kami tak memperdulikan pandangan orang lain, kami teralu sibuk tertawa. Kami suka sekali tertawa, kami senang mendengar suara tawa kami yang terbahak – bahak. Saat kami tertawa, kami tak lagi mendengar apapun, tak lagi memperhatikan apapun selain suara tawa kami. Dunia kami mendadak menjadi sempit...hanya ada kami, gelak tawa, air mata, dan perut sakit. Meskipun cuma sebentar, tapi berarti sangat banyak. Saat kita tertawa rasanya beban yang menumpuk di pundak dan dada kita seperti terangkat sedikit demi sedikit.

“Tawa itu seperti facial yang mengangkat kotoran sisa make – up, debu, dan flek hitam di wajah kita,” ujar Jasti.

“Tawa itu seperti meminum sebotol air putih setelah kita olahraga atau minum jus saat kita bangun tidur,” kata Alle.

Kata Irene, “Tawa adalah pelangi yang muncul setelah hujan lebat, embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan yang hijau, dan keripik kentang yang begitu renyah,”

Tapi menurut Czar, “Tawa itu seperti Nitrous Oxide System yang bisa mendorong laju mobil kita lebih cepat. Nothing can catch you up,”

Kami semua setuju bahwa dalam satu hari kita harus menyempatkan diri tertawa meski hanya tiga detik lamanya. Di dunia yang gelap, dunia yang tak bersahabat, di antara rasa pahitnya hidup, ketidakadilan manusia, dalam sempitnya ruang waktu, serta di sela – sela air mata kepedihan, kita semua membutuhkan tawa. Tahu kenapa? Karena kami yakin, dengan tertawa kita telah membuat jalan hidup yang berliku ini terasa lebih ringan. Hal yang sederhana namun dampaknya begitu luar biasa. Maka terberkatilah para pelawak dan cinta di seluruh dunia yang membawa gelak tawa bagi umat manusia dan kasihanilah orang yang tak dapat tertawa, tak pernah memberi kesempatan dirinya tertawa, yang selalu membiarkan keningnya mengkerut dan mukanya cemberut, karena sampai akhir dunia pun mereka takkan pernah bahagia.
***

Aisya,Kamar kosong, 22 November 2007

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.