Pedagang : Tambahan atuh, keur duit roko mah..
Pembeli : Naon, rokok mah geus haram!
Pedagang : Haram teh ceuk nu teu ngaroko, ceuk nu ngaroko mah halal...
Tergelitik saya ketika mendengar percakapan singkat antara pedagang dan pembeli itu. Perbincangan dan perdebatan mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa rokok itu haram terus berlanjut. Tidak lama ini MUI mengadakan sebuah sidang di Padang Panjang Sumatera Barat tentang boleh tidaknya merokok. Setelah mempertimbangkan dalil - dalil yang sahih akhirnya para ulama menyepakati bahwa rokok itu haram dalam 4 kategori yakni: bagi ibu hamil, anak - anak, merokok di tempat umum, dan bagi anggota MUI itu sendiri, di luar itu rokok tetap makruh hukumnya.
Memang, ada dalil ayat suci Al-Qur'an yang menerangkan agar manusia menjauhi hal yang membinasakan diri. Rokok mungkin juga salah satu penyebabnya, karena dari segi medis merokok jelas merugikan tubuh manusia. Tidak menguntungkan sama sekali, perlahan tapi pasti rokok menjadi racun yang mengalir dalam darah dan dapat menghentikan nafas manusia secara sia - sia. Selain itu rokok juga bukan saja merugikan bagi yang menghisapnya tapi berakibat buruk bagi mereka yang tidak merokok dan menghisap kepulan asap rokok secara tidak sengaja. Tetapi tidak adanya aturan dalam Al-Qur'an mengenai larangan merokok, dijadikan alasan beberapa pihak yang kontra akan merokok itu haram. Alhasil haramnya rokok menjadi perdebatan yang cukup alot. Beberapa waktu lalu, pemerintah sudah mengatur aturan tentang merokok dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda). Namun seperti yang sudah - sudah, peraturan pemerintah hanyalah hitam di atas putih yang tidak mempunyai kekuatan apa - apa bagi rakyat yang di aturnya. Semuanya nihil. Bahkan dari kalangan mereka yang membuat Perda itu sendiri masih melanggarnya. Nah, dengan ditetapkannya fatwa rokok haram oleh MUI, diharapkan dapat memperkuat Perda itu. Hmmm?? gimana ya, saya bukan perokok, saya juga perokok pasif yang menjadi korban keegoisan para perokok yang tersebar di mana - mana. Meski demikian, saya termasuk orang yang tidak mendukung tapi tidak juga menentang keputusan MUI tersebut, saya hanya meragukan apakah setelah dikeluarkannya fatwa haram itu akan menghentikan langkah para perokok? Kalau saya sih realistis saja. Minuman beralkohol saja yang jelas - jelas disebut haram dalam Al-Qur'an, banyak yang mengkonsumsinya. Bahkan di daerah tertentu, minum minuman beralkohol, bermabuk - mabukkan, dijadikan sebuah tradisi merayakan keberhasilan setelah mengamalkan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Apalagi merokok yang hanya sebuah fatwa yang dikeluarkan MUI? Ups, sorry kalau saya terdengar begitu pesimis...
Saya ingin melihat masalah ini dari sisi yang netral saja. Saya lebih setuju dengan tulisan Sdri. Novianti pada rubrik "Kolom" di harian Pikiran Rakyat tanggal 31 Januari 2009 hari Sabtu yang berjudul, "Rokok Haram Gitu?". Rokok merupakan hak asasi manusia, mengharamkan merokok termasuk pelanggaran hak merokok kaum perokok. Hal ini juga dijadikan alasan menentang fatwa rokok haram. Namun berbicara mengenai hak pasti juga ada kewajiban. Hak merokok kaum perokok tarik - menarik dengan hak kaum antirokok untuk memperoleh udara segar. Bukankah menghormati hak orang lain merupakan salah satu kewajiban agar kita mendapatkan hak kita?
Fatwa rokok haram ini pastilah sangat melegakan bagi mereka yang pro. Mereka dapat menikmati udara segar, tanpa lagi adanya kepulan asap rokok di tempat - tempat umum. Menurut penelitian, perokok pasif adalah korban dari perokok karena mereka lebih beresiko terkena asap rokok di banding perokok aktif. Memang betul kata Sdri. Novianti, toleransi adalah jawabannya. Kita diajarkan mengenai toleransi semenjak dulu, bahkan sampai diterapkan dalam kurikulum belajar-mengajar yang masuk dalam mata pelajaran PPKN atau PMP. Terlepas dari masalah kesehatan dan hukum - hukum tersebut, kedua belah pihak ( perokok aktif dan perokok pasif ) harus menerapkan toleransi yang tinggi untuk meredam haram atau tidaknya merokok. Tidak ada susahnya kan menerapkan toleransi? kalau memang mau win - win solution.
Perokok yang pintar tentunya mengerti di mana dia boleh merokok dan di mana dia tidak boleh merokok. Dia juga mengerti kesukaannya menghisap rokok. Manis - pahitnya, untung - ruginya biar dia yang tanggung sendiri dan dia pasti tidak ingin merugikan orang lain karena ulahnya. Dia tidak akan mengotori ruang publik dengan asap rokok, abu rokok, dan puntung rokoknya. Dia akan kembali menetralisir bau rokok di mulutnya dan badannya dengan permen atau parfum misalnya sehingga nafasnya tidak bau rokok saat ia berkomunikasi dengan orang lain. Bagi yang tidak merokok dukunglah perokok tersebut agar berhenti dari kebiasaannya merokok dengan sopan dan bijak. Penulis, Sdri. Novianti, mengajak pembaca untuk mempergunakan hak dengan bertanggung jawab.
And i'm 100% agree with this girl!
Pembeli : Naon, rokok mah geus haram!
Pedagang : Haram teh ceuk nu teu ngaroko, ceuk nu ngaroko mah halal...
Tergelitik saya ketika mendengar percakapan singkat antara pedagang dan pembeli itu. Perbincangan dan perdebatan mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa rokok itu haram terus berlanjut. Tidak lama ini MUI mengadakan sebuah sidang di Padang Panjang Sumatera Barat tentang boleh tidaknya merokok. Setelah mempertimbangkan dalil - dalil yang sahih akhirnya para ulama menyepakati bahwa rokok itu haram dalam 4 kategori yakni: bagi ibu hamil, anak - anak, merokok di tempat umum, dan bagi anggota MUI itu sendiri, di luar itu rokok tetap makruh hukumnya.
Memang, ada dalil ayat suci Al-Qur'an yang menerangkan agar manusia menjauhi hal yang membinasakan diri. Rokok mungkin juga salah satu penyebabnya, karena dari segi medis merokok jelas merugikan tubuh manusia. Tidak menguntungkan sama sekali, perlahan tapi pasti rokok menjadi racun yang mengalir dalam darah dan dapat menghentikan nafas manusia secara sia - sia. Selain itu rokok juga bukan saja merugikan bagi yang menghisapnya tapi berakibat buruk bagi mereka yang tidak merokok dan menghisap kepulan asap rokok secara tidak sengaja. Tetapi tidak adanya aturan dalam Al-Qur'an mengenai larangan merokok, dijadikan alasan beberapa pihak yang kontra akan merokok itu haram. Alhasil haramnya rokok menjadi perdebatan yang cukup alot. Beberapa waktu lalu, pemerintah sudah mengatur aturan tentang merokok dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda). Namun seperti yang sudah - sudah, peraturan pemerintah hanyalah hitam di atas putih yang tidak mempunyai kekuatan apa - apa bagi rakyat yang di aturnya. Semuanya nihil. Bahkan dari kalangan mereka yang membuat Perda itu sendiri masih melanggarnya. Nah, dengan ditetapkannya fatwa rokok haram oleh MUI, diharapkan dapat memperkuat Perda itu. Hmmm?? gimana ya, saya bukan perokok, saya juga perokok pasif yang menjadi korban keegoisan para perokok yang tersebar di mana - mana. Meski demikian, saya termasuk orang yang tidak mendukung tapi tidak juga menentang keputusan MUI tersebut, saya hanya meragukan apakah setelah dikeluarkannya fatwa haram itu akan menghentikan langkah para perokok? Kalau saya sih realistis saja. Minuman beralkohol saja yang jelas - jelas disebut haram dalam Al-Qur'an, banyak yang mengkonsumsinya. Bahkan di daerah tertentu, minum minuman beralkohol, bermabuk - mabukkan, dijadikan sebuah tradisi merayakan keberhasilan setelah mengamalkan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Apalagi merokok yang hanya sebuah fatwa yang dikeluarkan MUI? Ups, sorry kalau saya terdengar begitu pesimis...
Saya ingin melihat masalah ini dari sisi yang netral saja. Saya lebih setuju dengan tulisan Sdri. Novianti pada rubrik "Kolom" di harian Pikiran Rakyat tanggal 31 Januari 2009 hari Sabtu yang berjudul, "Rokok Haram Gitu?". Rokok merupakan hak asasi manusia, mengharamkan merokok termasuk pelanggaran hak merokok kaum perokok. Hal ini juga dijadikan alasan menentang fatwa rokok haram. Namun berbicara mengenai hak pasti juga ada kewajiban. Hak merokok kaum perokok tarik - menarik dengan hak kaum antirokok untuk memperoleh udara segar. Bukankah menghormati hak orang lain merupakan salah satu kewajiban agar kita mendapatkan hak kita?
Fatwa rokok haram ini pastilah sangat melegakan bagi mereka yang pro. Mereka dapat menikmati udara segar, tanpa lagi adanya kepulan asap rokok di tempat - tempat umum. Menurut penelitian, perokok pasif adalah korban dari perokok karena mereka lebih beresiko terkena asap rokok di banding perokok aktif. Memang betul kata Sdri. Novianti, toleransi adalah jawabannya. Kita diajarkan mengenai toleransi semenjak dulu, bahkan sampai diterapkan dalam kurikulum belajar-mengajar yang masuk dalam mata pelajaran PPKN atau PMP. Terlepas dari masalah kesehatan dan hukum - hukum tersebut, kedua belah pihak ( perokok aktif dan perokok pasif ) harus menerapkan toleransi yang tinggi untuk meredam haram atau tidaknya merokok. Tidak ada susahnya kan menerapkan toleransi? kalau memang mau win - win solution.
Perokok yang pintar tentunya mengerti di mana dia boleh merokok dan di mana dia tidak boleh merokok. Dia juga mengerti kesukaannya menghisap rokok. Manis - pahitnya, untung - ruginya biar dia yang tanggung sendiri dan dia pasti tidak ingin merugikan orang lain karena ulahnya. Dia tidak akan mengotori ruang publik dengan asap rokok, abu rokok, dan puntung rokoknya. Dia akan kembali menetralisir bau rokok di mulutnya dan badannya dengan permen atau parfum misalnya sehingga nafasnya tidak bau rokok saat ia berkomunikasi dengan orang lain. Bagi yang tidak merokok dukunglah perokok tersebut agar berhenti dari kebiasaannya merokok dengan sopan dan bijak. Penulis, Sdri. Novianti, mengajak pembaca untuk mempergunakan hak dengan bertanggung jawab.
And i'm 100% agree with this girl!
gw baru tau kalo rokok haram men!!!
BalasHapuskemana aja ya gw!
ai babi masih haram juga?
hahahaha!!!
euh...nya puguh atuh eta mah!
BalasHapus