“Di luar hujan,” Rintik menatap ke luar jendela.
“Bagus dong,” Aksa memeluk tubuh Rintik dari belakang.
“Aku tidak bisa pulang,” ujar Rintik masih tetap menatap ke luar jendela.
Aksa tersenyum lembut. “Tuhan maha mengerti kalau aku masih ingin bersama kamu,” tak dilepasnya pelukan itu.
“Tapi Ibu pasti mencariku. Kalau aku tidak buru – buru pulang, Ibu pasti marah. Matahari sudah mulai tenggelam, Aksa,”
“Justru itu. Artinya waktuku untuk bisa memelukmu seperti ini tinggal sesaat lagi,”
“Kan masih ada hari esok,”
“Esok itu masih lama,”
Aksa membalikan tubuh kekasihnya, ditatapnya mata gadis itu sembari tersenyum. Tak pernah dirasakannya rasa sehebat ini, ia sungguh mengagumi makhluk terindah ciptaan Tuhan yang tengah berdiri di hadapannya, di peluknya.
“Aksa...”
“Hmm...”
“Aku harus pulang,”
“Di luar hujan, Cintaku,”
“Aksa,”
“Kamu masih mau pulang juga, Bidadariku?”
“Tidak, di luar hujan.” Jawab Rintik.
Kali ini Rintik yang mendekap Aksa lebih dekat. Ia tak pernah benar – benar tahu apakah ia mencintai pria itu atau tidak, pokoknya ia tak bisa mengeluarkan nama Aksa dari dalam pikirannya, tak bisa lepas darinya. Rintik selalu ingin bersama dirinya, pria berperawakan tegap yang kini tengah memeluknya. Begitu hangat berada dalam pelukannya, begitu nyaman merebahkan kepala di dadanya, begitu tergetar hatinya saat pria ini membelai rambutnya. Begitu tak berdayanya Rintik saat Aksa mulai mengecup keningnya, lalu matanya, hidungnya, dan bibirnya.Rintik begitu teranyut dalam suasana, suara hujan lebat yang turun dan petir yang menyambar – nyambar seakan menjadi alunan lagu romantis bagi mereka yang tengah dimabuk arak asmara.
Mereka terbaring di atas tempat tidur dan saling berhadapan. Aksa tak bosan menatap wajah gadis ini, matanya, lalu lama menatap bibirnya. Rintik berusaha menoleh untuk kembali melihat ke luar jendela, tetapi Aksa terlalu kuat memeluk tubuhnya. Ia tak kuasa dengan tatapan yang diberikan pria ini. Rintik mulai merasakan rasa aneh di perutnya merambat ke dadanya yang kembali berdegup kencang setiap Aksa menatapnya seperti itu, rasa yang sudah begitu akrab baginya, tetapi hingga kini masih juga ia rasakan meskipun sudah berbulan - bulan mereka pacaran.
Perlahan Aksa menarik wajah Rintik dan mulai mendaratkan kembali bibirnya di atas bibir Rintik. Rintik, untuk kesekian kalinya, tak dapat berbuat apa – apa. Ia menyerah, bukan hanya pada Aksa, rasanya, tapi juga pada dirinya. Aksa telah memulainya dan Rintik tak bisa menghentikannya. Setelah terbiasa dengan rasa aneh yang muncul di perutnya setiap detik – detik pertama mereka berciuman, Rintik pun mulai menikmatinya, menunjukkan aksinya bahwa ia bukanlah lagi gadis yang baru pertama kali mendapatkan ciuman dari seorang pria seperti dulu. Kali ini ia lebih lihai mengulum bibir kekasihnya dan memainkan lidahnya. Aksa menghentikan ciumannya, namun dengan sigap Rintik langsung menyambar bibir Aksa dan mereka mulai berciuman lagi. Kali ini Aksa yang menyerah, tak kuasa ia menolak gairah yang ada di antara mereka. Digumulnya bibir gadis itu dengan setengah bernafsu, di dekapnya erat – erat tubuh Rintik hingga tak menyisakan sedikit pun celah di antara kulit mereka, hingga Rintik merasa tak dapat benafas leluasa, hingga hujan yang lebat pun mulai mereda. Suasana mulai memanas, lalu keduanya saling menarik diri.
Masih terbaring di atas tempat tidur, Rintik merebahkan kepalanya di dada Aksa. Ia melihat ke arah jendela, hujan telah berhenti dan di luar sudah gelap. Aksa masih membelai – belai rambut ikal Rintik, Rintik dapat mendengar suara degup jantung Aksa. Begitu merdu. Telah tiba waktunya, ia harus segera pulang kalau tak mau ibunya marah besar. Tetapi berat rasanya ia mengangkat kepala dari dada pria yang telah menjadi kekasihnya selama ini, berat rasanya ia meninggalkan kamar yang kecil---saksi bisu akan cinta mereka yang bergejolak.
Masih ada hari esok. Rintik berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tidak, kenyataannya ia tak mau menunggu hari esok untuk bisa kembali ke sini dan bertemu, memadu kasih bersama Aksa. Ini adalah saat – saat yang paling indah bagi Rintik, ketika mereka hanya berdua saja, larut dalam romansa mereka sendiri, hanya saling berpelukan, merasakan hangatnya udara yang berhembus keluar dari hidung sang kekasih tanpa sepatah kata pun mengalir dari bibir mereka. Tak ada kemarin, esok, atau lusa. Hanya ada hari ini dan mereka.
“Di luar sudah tidak hujan dan hari sudah gelap. Aku harus bergegas pulang,” ujar Rintik penuh derita.
“Ya, aku tahu,” kata Aksa yang malah makin merekatkan pelukannya. “Aku akan mengantarmu ke pangkalan bis,”
Aksa mengantar Rintik ke pangkalan bis. Tak dilepasnya jemari Rintik kala mereka berjalan berdua, dengan bangga ia menggandengnya dan membiarkan semua orang yang mereka jumpai di jalan, iri melihat aura cinta yang terpancar jelas dari diri mereka. Mereka pun berjanji untuk bertemu esok hari.
Rintik menatap Aksa dari balik kaca bis yang basah, mereka saling bertatap mesra dan tak ingin melepaskan tatapan itu hingga bis mulai bergerak dan menjauhkan mereka, sehingga mereka tak dapat saling menatap lagi hingga esok tiba.
Di luar kembali rintik – rintik air hujan turun. Pikiran Rintik melayang ke kamar yang kecil bersama Aksa. Andaikan hujan ini kembali turun saat aku masih bersama Aksa tadi, maka aku akan tertahan bersamanya. Maka kami akan lebih lama lagi bersama, saling berpelukan. Menikmati turunnya hujan sebagai penghalang kami untuk berpisah di hari ini, ujar Rintik dalam hati.
Di luar hujan. Aksa menatap ke luar jendela, tak ada lagi Rintik. Gadis yang ia cinta setengah mati. Pikirannya melayang pada Rintik, mungkin sekarang Rintik masih di bis dalam perjalanan pulang. ‘Tahukah ia bahwa aku tak sanggup menunggu hingga esok tiba untuk kembali menatap matanya? Tahukah ia bahwa hari ini hujan telah menjadi penghalang kami untuk berpisah? Jika sekarang ia masih ada di sini, maka ia akan tertahan bersamaku di sini...dan aku akan lebih lama lagi memeluknya.’
Di luar hujan. Suara air hujan yang menyentuh bumi dan gemuruh di langit seakan menjadi nyanyian penuh derita bagi mereka yang dilanda rindu. Mereka sendiri – sendiri, menatap ke luar jendela, berharap hari esok akan tiba lebih cepat.
***
Aisya,
Kamar kosong, 22 Januari 2008
Komentar
Posting Komentar