Langsung ke konten utama

Menjadi Sarjana

Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa sayang, saya memohon kepada ibu Susy untuk sedia bersabar menunggu kelulusan saya menjadi seorang sarjana sastra.
Pada satu pagi setelah sahur, entah jam berapa itu, yang jelas di luar masih gelap. Saya berpikir tentang ingin memberi sebuah simbol kepada Ibu tercinta (tapi tetep yang sesuai dengan isi dompet saya) pada hari raya. Saya belum pernah memberi beliau apa - apa. Ibu Susy sedang melewati masa - masa terberat di hari tua nya.



Di usia 56, dia belum di karuniai cucu satu pun, sebagai seorang dosen masa abdinya baru akan habis pada usia 62 tahun (namun ia mencanangkan pensiun dini pada usia 60 atau kalau dalam waktu dekat dia dihadiahi cucu oleh Sang Pencipta, maka ia akan segera pensiun saat itu juga), sekarang hari tua nya semakin berat ketika ia lelah banting tulang, banting otak, banting perasaan, tetapi tetap tidak mendapatkan THR (read: Tunjangan Hari Raya) dari institusi yang kini menaunginya. Cape - cape nguji, bimbingan, tidak di bayar. Ia tidak mendapatkan apa yang sesuai sebagai hak nya sebagai seorang pegawai, apalagi abdi bangsa, pahlawan tanpa tanda jasa. Pedahal hak - hak materil seperti itu sudah diatur dalam perundang - undangan. Memang, pekerjaannya sebagai dosen pada umumnya mengacu pada bentuk pengabdian dalam rangka mencerdaskan bangsa namun, pun kita harus melihat pada sisi kenyataan kehidupan. Semua jerih payah tentu harus ada harganya. Bukan saja bentuk penghargaan peng-agungan nama atau puji - pujian semata, tapi kita hidup perlu sandang, pangan, dan papan yang tidak dapat di beli dengan hasil pujian. Mereka memiliki nilai riil. Nilai materil yang hanya akan kita dapatkan kalau kita memiliki uang.
Demi menghibur hatinya yang sedang lelah, yang belakangan ini sering kali murung, untuk mengobati kelesuan tatapan matanya, mengurangi keriput sedih di wajahnya, saya ingin membelikan sesuatu (barang) yang sedang ia mau. Apa saja, akan saya usahakan. Lantas saya berpikir apa ya....
Langsung saya tanya pada beliau.
"Mak, nanti lebaran pengen aku beliin apa?"
Ibu Susy senyam senyum mesem. "hhh...Mamak cuma ingin lihat kamu jadi sarjana."
I knew it! I knew she's gonna said that!
"Whahahahaha... sabar ya Mak, doain aja yang terbaik biar bisa cepet. Jatah aku berapa lama, Mak?"
"Yahh...sama aja kaya kakak - kakak kamu, 4 tahun."
Ups, Ok. "Hahahaha..."
Tawa saya lesu pada saat itu. Bukannya tidak ingin, namun 4 tahun kemungkinannya kecil. Kenapa?? saya masih ada hutang sks yang harus di bayar. Setelah saya hitung - hitung dan prediksi, paling cepat saya lulus tahun 2011. Demonios. Syukur - syukur kalau bisa 2010 akhir. Itu pun dengan catatan, 2 semester akhir sekarang ini TIDAK BOLEH ADA YANG NGULANG a.k.a lulus semua. Harus bisa, sih. Harus bisa.
Hanya saja, tetap saya merasa tercekik. Hadooohh....Ibu Susy, sabar ya. Support saya selalu. Hiks.! =(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.