Langsung ke konten utama

Pada Malam

Sebenarnya aku ingin merasakan kebebasan meski dalam keterbatasan sebab hembusan dingin angin malam. Bukan seperti sekarang. Kembali terkotak di satu ruangan sepi, mendengar nyanyian nyamuk yang sama sekali tak merdu. Aku tidak bisa tidur.
Sengaja aku tidak mendebatmu malam ini. Semua pertimbanganmu terlalu masuk akal, berasal dari pikiran yang sehat. Jadi lebih baik aku diam dan mengangguk saja. Kamu tidak akan mengerti isi pikiranku saat ini. Tentang semua ide gilaku. Tentang bagaimana aku tidak peduli dinginnya malam, kencangnya angin. Tentang bagaimana konsep bermalamku malam ini. Aku ingin melewatkan satu malam tanpa tidur, tanpa menginap di tempat teman, tanpa pikiran takut masuk angin, atau apa kata orang. Aku ingin menyerahkan diri pada malam bersamamu. Ini kebebasan yang jarang aku dapatkan dan ternyata pada kenyataan yang pahit aku harus kembali menyerah. Bahwa ide gilaku harus terkubur saja dalam batin yang kini merasa tak terpuaskan.
Aku ingin menjadi samar dalam redup suasana malam. Berbagi sisi kegelapan. Berujar pada malam, "inilah kebebasan yang jarang kurasakan. aku dan hitammu, wahai malam. Membawa cinta yang tak terang.". Bersamamu aku merasa sempurna, namun nampaknya kamu sedang tidak menerima segala bentuk "kegilaan" yang hendak aku lancarkan. Lebih baik aku diam. Tak mau berdebat.
Pada malam, aku memohon maaf. Aku tidak bisa memanfaatkan kesempatan merasakan kebebasan, melarut bersama dinginmu, sepimu, juga kelammu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.