Langsung ke konten utama

Malam Minggu

“Kamu tidak keluar?” tanya Bapak.
“Tidak, Pak.” jawabku.
“Kamu menunggu Senja?”
“Aku menunggu pagi, Pak.”
“Wah, baru lagi. Pacarmu sekarang bernama Pagi?”
Aku tersenyum kecut. “Senja tidak akan datang, Pak. Lihat saja, langitnya mendung begitu. Senja enggan keluar dari persembunyiannya, dia takut pada hujan dan awan hitam. Dia takut tersambar petir.”
“Pacarmu itu banyak takutnya. Dia beraninya sama apa? Sama Bapak berani tidak?”
“Huahahaha…” aku tertawa spontan lalu menatap wajah Bapakku yang bulat dan berkumis. “Bapak tak ubahnya awan hitam. Lihat kumis Bapak saja bisa membuat dia lari terbirit-birit.”
“Kalau begitu pacarmu yang bernama Pagi bisa lebih berani dari dia?”
Aku menghela nafas panjang menatap langit sore yang mendung. Masih akan terasa sangat lama menunggu pagi atau untuk kembali bertemu dengan Senja. “Aku suka pada Senja, Pak. Meski pagi mungkin bisa lebih berani atau lebih terang dan jelas dibanding senja yang hanya remang-remang, tapi aku suka senja, Pak. Aku sudah terikat dengannya.”
“Macam perangko dan amplop surat begitu?”
“Haduh, Bapak ini dangdut sekali.”
Bapak mengusap kepalaku lantas pergi membiarkanku memandangi langit mendung dari balik jendela ruang tamu. Aku menunggu entah siapa atau merasakan apa. Perasaan ini juga semakin remang-remang dari hari ke hari. Perasaan yang bermula dari angka nol dengan instan mencapai 100 lalu dari 100 perlahan ia mengalami penurunan jadi 97, 96, 95, dan seterusnya. Terkadang naik lagi lalu turun lagi, fluktuatif seperti itu. Tidak jelas akan berakhir di angka berapa.
Rasa-rasanya sudah bosan mendengar orang-orang sekitarku menanyakan kenapa aku tidak keluar setiap malam minggu. Kalau aku sedang baca buku atau memandangi langit buram yang tidak biru. Atau ditanyakan perihal kehadiran orang yang normalnya menurut mereka seharusnya ada dia datang menemuiku untuk sekedar mengajak bercengkrama di tengah keluarga atau memandangi langit bersama. Tapi sayangnya menurut dia mungkin, apa yang kata mereka normal itu tidak normal untuknya. Menurutku? Aku tidak tahu mana yang normal. Normal itu tersamar oleh posisiku yang harus memaklumi dan menjembatani dua dunia yang berbeda. Memaklumi jika orang-orang disekitarku bertanya di mana keberadaan dia ketika sabtu malam banyak digunakan muda-mudi untuk lebih intim berinteraksi, dan memaklumi bahwa dia bukan muda mudi itu. Kami bukan muda mudi itu. Kami muda mudi yang bercakap hangat dan mesra lewat pesan-pesan pendek, lalu berkelahi ketika bertemu. Tetapi bisa baik lagi lewat pesan-pesan pendek, ketika bertemu lagi masih terpercik nafsu. Bisa nafsu apa saja, nafsu amarah maupun nafsu birahi. Kami bisa berkelahi penuh amarah, berdampingan tanpa bisa lagi mengucap kata, saling menahan untuk berucap kasar. Seminggu berikutnya kami bisa saja berkelahi tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh kami. Berguling ke kanan dan ke kiri, saling merekatkan diri, menutup pori-pori.

“Dik…”
“tidak, dia tak akan ke sini. Dia di tempat persembunyiannya.” Potongku sebelum Kakak sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Kok dia bersembunyi terus?”
“Petak umpet permainan favoritnya semasa kecil.”
“Tapi kan sekarang dia udah gede, masa main petak umpet terus?”
“Dia masih belum sadar kalau dia udah gede mungkin.”
“Kasian kamu, Dik. Makanya kalau punya pacar namanya jangan yang aneh-aneh. Yang satu namanya Kelam, lalu dulu pernah ada yang namanya Barat, terus Kibar, sekarang Senja. Nama yang tak lazim mencerminkan ketaklaziman si pemilik nama.”
“Aku kan tidak memilih mau bertemu siapa…”
“Tapi kan kamu memilih mau memacari siapa.”
Aku mengangguk. “Awalnya mereka lazim-lazim saja.”
“Terus kamu ngapain memandangi keluar jendela begitu? Mending bantuin Mama nyuci atau ngerjain skripsi, atau nih pijitin kaki!”
“Aku lagi nunggu pagi.”
“Buset, ngga lazim lagi kan nama pacar kamu! Eh, tapi pagi kan terang, siapa tahu yang kali ini akan membawa benderang di hidup kamu, Dik.”
“Ngaco,” komentarku. “Aku menunggu pagi untuk cepat menyambut Senja. Besok hari.”
“Alamak!” 

Seperti déjà vu. Aku sepertinya pernah melihat langit seperti ini yang terus mendung tetapi tak turun hujan. Hanya mendung, di satu hari rabu yang kelabu. Ketika rabu itu orang-orang berlarian ingin cepat pulang karena hari mendung. Aku berpikir, kenapa orang-orang ingin cepat pulang, ternyata mereka takut hujan. Hujan akan membuat mereka jadi basah lalu sakit. Malam minggu mendung seperti ini justru disukai orang-orang, terlebih muda mudi. Bergerombol berkumpul di pusat-pusat keramaian kota. Bersama teman-teman saling mencuri pandang ke arah lawan jenis yang menarik perhatian atau bersama pacar ngopi sambil ngemil jagung bakar. Tidak ada yang takut kehujanan. Hujan akan membuat mereka kedinginan, lalu menjadi alasan mereka untuk merapat saling menghangatkan. Tapi ini hari hanya mendung tanpa hujan.

Malam tiba, Senja tak mungkin tiba-tiba merona memerah dalam gelap. Kekuatan bulan menenggelamkannya ke bawah awan yang mendorongnya jauh-jauh menuju langit sore ceria lainnya. Senja… Senja… orang-orang akan marak bertanya Senja mana yang tengah aku bicarakan atau yang tengah berlari-lari dalam pikiran. Tapi mereka tak perlulah tahu. Karena keduanya toh, sama-sama tak mengapeliku di malam minggu.
***

Aisya
Sudut Sepi, 21 Januari 2011

Komentar

  1. nice story cantik...
    pasti ini beneran deh bukan fiktif..hihihi

    BalasHapus
  2. wow. :]
    aku malah udah satu tahun ini gak ada acara malam-malam mingguan.
    cuma duduk diatas jendela tingkat dua dengan laptop di paha.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.