Langsung ke konten utama

Bangsa Budak, Bangsa Pecundang

Hati miris saat membaca kolom yang ditulis Wilujeng Kharisma di rubrik OPINI koran Pikiran Rakyat edisi Kamis, 17 Maret 2011. Dari judul langsung membuat saya tertarik membacanya: Bangsa Pecundang. Sang penulis menceritakan pengalamannya saat mendengarkan pidato Adi Sasono, mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dalam rangka panen raya di Karawang. Adi Sasono menyebutkan, bangsa kita sedang menuju bangsa pecundang. Setelah sang Penulis menelaah lebih lanjut pidato dari Adi Sasono tersebut, memang sulit dipungkiri kalau kita perlahan bergerak menuju bangsa pecundang.

Bung Karno pernah mengindikasikan empat hal suatu bangsa dikatakan bangsa pecundang. Antara lain adalah bangsa yang membiarkan keadaan negaranya sebagai pengekspor buruh murah ke luar negeri. Apakah kita melakukan itu saat ini? Ya. Diulas pula dalam tulisan, kenyataan bagaimana banyaknya kekerasan terhadap TKW kita. Hal tersebut disebabkan tenaga kerja dikirim tanpa keahlian yang memadai dan terkesan dipaksakan. Teman-teman saya yang pernah AUPAIR di Jerman (aupair: sebuah pekerjaan menjadi Nanny di luar negeri) pun mengakui, bahwa umumnya tenaga kerja dari Indonesia di sana memang sudah dianggap "bermental babu". Dalam artian mereka bersedia melakukan apa saja, meski dengan bayaran murah dan menyalahi aturan yang sudah disepakati dalam kontrak kerja. Mungkin akibat mental bangsa ini yang serba ngga enakan dan kultur kekeluargaan.  

Kemudian adalah bangsa penghasil sumber daya alam (SDA) tetapi hanya menjadi tempat penanaman modal asing (PMA). Bukankah sudah sangat marak juga di Indonesia?? Banyak aset-aset alam kita yang telah dikelola oleh perusahaan asing, meski diantaranya ada yang melalui perusahaan Indonesia tetapi tetap saja 90% sahamnya milik asing. Bangsa kita yang paling berhak menuai kekayaan di negeri sendiri, hanya bisa menjadi budak dan berakhir di bawah garis kemiskinan. Jauh dari kata sejahtera yang dijamin oleh undang-undang.

Lalu indikasi terakhir adalah bangsa yang hanya menjadi pasar bagi komoditas bangsa-bangsa maju. Wah kalau yang ini jelas sudah terlihat. Maraknya berita di koran tentang usaha-usaha lokal yang terancam gulung tikar atau bahkan sudah gulung tikar karena tidak bisa bersaing di pasar global. Mereka tidak bisa bersaing jika kita terus menerus membeli barang-barang import, kita membeli barang import karena kualitasnya yang jauh lebih baik, tetapi sisi lain juga mengatakan para pengusaha lokal tidak mampu meningkatkan kualitas karena minat pembeli yang rendah pula karena peningkatan kualitas tidaklah murah biayanya.  Di mana peran pemerintah? Mereka selalu sibuk memperkaya diri sendiri dari pajak-pajak masuk yang dikenakan pada barang-barang produksi asing.

Setelah membaca tulisan itu, saya langsung teringat dengan quotes Pramoedya A. Toer dalam novel "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels": 
"Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain."
Mental kita mental orang-orang yang dijajah, mental penjilat pada yang lebih berkuasa. Bahkan tuan-tuan terhormat yang duduk empuk dan tidur saat sidang rakyat itu menjajah bangsanya sendiri dan menjilat pada penguasa. Hanya segelintir orang yang masih terus berusaha berjalan lurus. Sepertinya ini sudah menjadi penyakit akut yang beregenerasi sangat cepat, penyakit akut yang tersebar di semua kalangan negeri ini. Pembodohan kerap diberlakukan di negeri ini, yang sebetulnya belum benar-benar merdeka selama masih ada yang kelaparan, selama masih banyak yang tak berpendidikan. Kita akan terus menjadi bangsa budak. Jangan munafik, akuilah kita memang bangsa budak, bangsa pecundang. 
Setelah benar-benar tersadar, masihkah kita mau menjadi bangsa budak, bangsa pecundang?

"Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka , dengan bahasa yang mereka tahu"
- Parmoedya Ananta Toer: Child of All Nation -
   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.