Langsung ke konten utama

Sinetron Liga Super Indonesia

Penuh drama, intrik, juga rekayasa. Itulah wajah sepak bola Indonesia. Berawal dari kekecewaan saya atas hasil imbang Persib Bandung di stadion Gelora Bumi Kartini sabtu (7/5/2011) saat dijamu Persijap Jepara. Persib Bandung pantas memenangkan pertandingan dengan skor 1-2, namun apa dikata, skenario sudah dirancang dan pada menit ke-54 Persib dipaksa merelakan gol yang dicetak Christian Gonzales, dianulir wasit. Hakim garis mengangkat bendera yang menyatakan Gonzales offside, namun tayangan replay menyatakan lain. Dalam tayangan replay tersebut terlihat jelas bahwa Gonzales onside, ia tidak menunggu bola, ia mengejar bola. Sungguh mengecewakan. Balada wasit yang memihak tuan rumah pun terus menerus terjadi, mereka tidak peduli seakan-akan tidak ada jutaan pasang mata yang menjadi saksi buruknya kinerja wasit LSI. Seorang pemain profesional dunia, Mateja Kezman (mantan striker Chelsea dan Juventus) menghina liga AFC, bahwa AFC adalah liga buruk dan bodoh, saat timnya bertandang ke markas Persipura. Ia melihat bagaimana wasit cenderung menguntungkan tuan rumah. AFC saja dihina, apalagi kalau Kezman itu melihat sepakbola Indonesia, barangkali ia akan bilang, LSI adalah liga orang-orang idiot.



Tak hanya dalam pertandingan Persija vs Persib, hal ini kerap terjadi. Antara lain saat perhelatan derby Borneo, Persisam vs Persiba. Hasil akhir pertandingan untuk kemenangan Persisam 4-1 atas Persiba. Gol Persiba pun sempat dianulir wasit, setelah hakim garis menyatakan offside. Pada pertandingan puncak final LSI U-21 pun terjadi hal serupa. Kala itu gol Josua Pahabol dari Semen Padang dianulir karena offside. Tayangan replay membuktikan gol-gol tersebut adalah sah, pemain dari Persiba dan Semen Padang U-21 itu jelas onside. Lagi-lagi keputusan yang keliru dari hakim garis merusak profesionalisme sebuah kompetisi.

Wasit-wasit di LSI pernah dianggap terlalu lembek oleh Alfred Riedl. Mereka dianggap tidak mampu menjadi pemimpin pertandingan yang seharusnya dapat mengendalikan para pemain dalam setiap pelanggaran yang tercipta. Wasit-wasit kita seperti tidak tahu kapan harus mengeluarkan kartu kuning, kartu merah, atau play-on. Hakim garis terlihat seprti punya silindris matanya dengan keputusan-keputusan salah dan merugikan tim. Mungkin mereka terlalu ketakutan untuk mengeluarkan keputusan yang jujur, adil, dan tegas. Sering terjadi keputusan-keputusan yang salah dan mereka (wasit) bersembunyi dibalik alasan "telah berusaha memimpin pertandingan semaksimal mungkin" atau "wasit juga manusia, sering berbuat salah". Tetapi kesalahan mereka yang berakibat menodai sebuah pertandingan tidak bisa terus menerus dibiarkan. Kesalahan non-teknis seperti ini bisa sangat berakibat buruk bagi profesionalisme sebuah kompetisi. Ketika perangkat kompetisi (penyelenggara, pembina, hingga pelaksana seperti wasit dan pemain) itu tidak profesional dalam mengolah kompetisinya, maka kompetisi tersebut tidak layak disebut kompetisi profesional. Sudah saatnya perangkat kompetisi dicuci gudang, depak yang tidak profesional dan rangkul yang jujur dan profesional. Hal-hal non-teknis macam ini pun berpengaruh bagi profesionalisme pesebakbola ataupun klub sepakbola itu sendiri, karena mereka dibiasakan dalam pertandingan yang tidak profesional, cupu, negatif, dan penuh rekayasa. Imbasnya? pada tim nasional Indonesia. Di liga Indonesia tuan rumah sering diuntungkan wasit, klub-klub sepakbola jago kandang, maka terbawa saat di tingkat internasional. Timnas Indonesia jago kandang, tapi mental tandang mereka sangat buruk. Di luar masalah politisasi sepakbola, dari kompetisi lokalnya saja sudah dapat dinilai, Indonesia memang belum pantas untuk berprestasi di kancah internasional.

Panggung sepakbola Indonesia sudah seperti sinetron saja kian hari. Di mana ada protagonis (para pemain) dan antagonis (wasit) dan yang antagonisnya luar biasa nyebelin hingga menguras emosi.

Komentar

  1. Inilah salah satu sebab, aku tak suka liat bola Indonesia dgn ISL nya..hehehehe..membosankan dan mudah ditebak. Main kandang pasti menang, paling gak seri, main tandang pasti kalah.....seneng lah tukang judi bola...:))

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.