Langsung ke konten utama

Kabar, Lama tak Menulis

Saya kehilangan kemampuan menulis. Seperti ada yang menyumbat aliran darah segar ke otak, hingga pikiran saya tak berbuah. Rasanya seperti terserang hama, membuat saya cukup lama vakum dari dunia tulis menulis. Mencoba memutar kotak memori beberapa bulan ke belakang, hari-hari saya dipenuhi kegiatan lembur dari kantor. Lembur terasa melelahkan, jika hasilnya tak terasa nyata. Pernah saya berlaku "nakal" bersama teman-teman sekantor, ketika waktu lembur kami pergunakan untuk berfoto ria (yang tentunya dilakukan secara bergerilya).
Saya pikir daripada capek-capek demo untuk menagih UPL (Upah Pekerja Lembur) yang belum terealisasi, mending pergunakan waktu lembur itu untuk hal lain. Hitung-hitung "memeras" perusahaan supaya hutangnya tambah menumpuk pada kita. Hahaha... kalau kita demo, belum tentu para petinggi mendengarkan bahkan mungkin yang ada kita di tendang dari perusahaan. Well, itu cerita yang tidak patut dicontoh. Pada akhirnya UPL itu tetap terbayarkan juga meski setelah lewat dua bulan. Dan pada akhirnya juga saya sukses mengundurkan diri dari kantor yang sudah 7 bulan menaungi saya dan memberi saya cukup pengalaman. Bukan karena UPL yang lama tak cair-cair, atau saya punya masalah dengan kolega-kolega, atau petinggi kantor, tapi saya resign karena saya memang orang yang angin-anginan. Saya merasa tidak cocok dengan kerja kantoran, mempunyai waktu yang terikat, dan lebih banyak beraktifitas dalam gedung. Ada orang yang lebih pantas untuk menempati tempat saya di kantor itu. 

Teman-teman kantor yang sukarela jadi model saya 








Setelah memisahkan diri dari kehidupan perkantoran, saya berkelana ke Cisarua, Lembang, dalam rangka menimba ilmu untuk target pekerjaan saya berikutnya. Terhitung dari pertengahan desember lalu, saya bolak-balik Bandung-Cisarua. Saya belajar budidaya jamur tiram pada petani setempat. Saya belajar memanen jamur dengan benar, belajar pembukaan log jamur, mengenal karakteristik jamur, dan proses-proses dari awal budidaya hingga siap panen. Saya juga melihat langsung bagaimana pemasaran jamur berlangsung. Dari tangan petani ke tangan bandar lalu disalurkan ke pasar-pasar dan berakhir di tangan konsumen. Langkah awal saya juga akan menggunakan bandar sampai saya mampu menembus pasar sendiri.





Learning by doing. Pelajaran terbaik akan didapat setelah kita berusaha mempraktikannya. Saya memutuskan untuk merealisasikan pekerjaan ini pada maret mendatang. Sebagai pemula dengan modal terbatas, saya memilih menjadi petani "instan" dulu. Petani instan yang saya maksud adalah, saya menyewa tempat dan membeli bibit dari pihak lain. Kalau membuat tempat sendiri dan membuat bibit sendiri tentu saya membutuhkan modal yang lebih banyak. Saya harus membeli atau sewa tanah lalu membangun tempat untuk jamur, membeli alat-alat untuk proses pembuatan bibit, itu semua membutuhkan modal yang cukup besar. Meski saya didukung orang-orang yang cukup kompeten untuk membuat bibit sendiri. Seperti teteh saya lulusan jurusan Biologi dan sepupu saya lulusan agrobisnis pertanian. Cuma saya saja yang menyeleweng dari jurusan sastra dan bergelut dibidang perjamuran. Tetapi waktu dan modal menjadi pertimbangan utama. Singkat cerita akhirnya saya mendapatkan tempat bernama kumbung (rumah jamur) di tempat saya menimba ilmu. Kumbung yang saya sewa ini kapasitasnya untuk 10.000 log jamur. Hanya saja di tempat saya hendak berbudidaya sekarang, bibit jamur dimonopoli oleh satu perusahaan saja. Jadi, para petani diharuskan membeli bibit dari mereka dan tidak diperkenankan membeli bibit dari luar. Masalah besar pertama yang akan segera saya hadapi adalah cuaca ekstrim yang terjadi belakangan ini cukup mempengaruhi dunia budidaya jamur tiram, panen menjadi tidak maksimal. Jamur tiram sangat bergantung pada suhu dan kelembapan yang dipengaruhi oleh cuaca. Diperlukan bibit berkualitas yang tahan terhadap cuaca ekstrim. Jika bibit tidak baik + cuaca tidak menguntungkan = kerugian. Posisi yang sulit untuk para petani di tempat ini sekarang, karena mereka tidak diperbolehkan mencari bibit dari luar. Kondisi itu pula yang akan segera saya hadapi. Saya memantau juga sedang ada usaha perbaikan yang dilakukan perusahaan penjual bibit. Saya sendiri berusaha mencari solusi untuk membuat jamur-jamur saya nanti bisa bertahan dan mencapai target, karena sebetulnya jamur tiram ini mempunyai prospek yang bagus kedepan. Pangsa pasar terbuka lebar, dibeberapa daerah bahkan harga jamur tiram cukup tinggi per kilonya. Seperti Palembang dan Pontianak, 1kg jamur tiram harganya Rp. 30.000 - Rp. 35.000. 

Huahhh...belum-belum saya sudah migrain duluan. Saya sudah tercebur di bidang ini sekarang. Saya tidak bisa mundur, saya harus maju dan bekerja keras. Pekerjaan saya yang sekarang akan lebih keras dari sebelumnya. Life's getting harder each day...but that is life. If life doesn't make you crazy, then why bother living in it? 

Cheers!                   

Komentar

  1. satu lagi..jamur kulit....masih punya ya?....bagus...RAWATLAH DGN RIANG...

    BalasHapus
  2. WHY ARE GOING INTO MUSHfuckinROOM THINGY!? T_____T"

    BalasHapus
  3. hei ratu jamur! i can't describe a word how i miss youuu!
    haha. sama ca, aku jg lagi mengalami penyumbatan darah ke otak atau mungkin terserang hama. entah hama apa. -_-" udah 1.5 bulan aku ga nulis apa-apa.
    anyway, samaan lagi. kayaknya emang ga cocok sama kerjaan kantoran. sekarang lagi magang dan my days totally boring :(
    anw sukses ya bisnis jamurnya. berasa di plant vs zombie ya? haha.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip to Malang - Semeru (Part 2)

Baca : Trip to Malang-Semeru (Part 1) Saya sampai di Ranupani (2.200m dpl) sekitar jam 4 sore, karena baru berangkat dari Tumpang sekitar jam 1 atau 2 siang. Setelah mengurus perizinan dan tetek bengek formalitas di Tumpang dan Ranupani, kami siap mendaki Semeru. Dari Tumpang ke Ranupani dibutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam naik Jeep. Selama perjalanan kita disuguhi panorama alam yang luar biasa indahnya. Tebing, perbukitan, lembah, padang savana yang luas, pedesaan tempat tinggal suku Tengger, serta Mahameru di kejauhan.

Yang Tua-Tua Keladi

Setelah melewati kemacetan Kebon Kalapa yang aduhai..hai..hai.. aduh padatnya, saya turun di pertigaan jalan Suniaraja-Otista-Kebon Jati. Dari situ saya mantap berjalan kaki ke jalan Kebon Jati, melawan arus kendaraan. Jalanan ini cukup padat juga, selain satu arah, banyak pedagang kaki lima di trotoar, juga angkot-angkot yang ngetem karena ada sekolahan di sini. Ruwet banget deh... matahari siang bolong terik, pedahal sewaktu saya berangkat dari rumah itu mendung loh...wah! Teruuuuuus saya berjalan naik turun trotoar, menembus kerumunan anak sekolahan, sampai di bangunan tua sebuah pabrik kopi. Ya, Javaco .

Ada yang Kesal

Hujan deras dan angin kencang mulai beraksi di luar. Saya duduk memandangi ponsel, berpikir sms apa yang akan saya kirim. Huh, bahkan saya tidak punya ide untuk menulis sms. Saya tidak menginginkan sms yang hanya berisikan pertanyaan, ‘sedang apa?’ Atau ‘sudah makan?’ Apalagi ‘di sini hujan. Di situ hujan juga?’. Sms yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dan hanya cerita yang tak berkelanjutan. Saya sadari betul saya butuh teman ngobrol, butuh teman untuk membunuh waktu, tapi sialnya saya tidak tahu topik apa yang enak untuk ngobrol.